Mohon tunggu...
NurMila Rahmawati
NurMila Rahmawati Mohon Tunggu... -

Berusaha mencipta mimpi, mendaki lewat awan dan samudera, hingga bertemu langit...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Berseragam dan Bahasa Awan

8 Maret 2011   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1299859000608924463

[caption id="attachment_93791" align="aligncenter" width="95" caption="ayucherry.blogspot.com"][/caption] Tubuh tinggi dan tambunnya terlihat ketika aku mulai melangkahkan kaki di ujung gang. Selalu, pakaian itu yang di kenakan oleh Si Bapak tinggi dan tambun. Kemarin memakai stelan warna biru tua, hari ini warna biru langit. Setelan seragam prajurit tepatnya, entahlah…seperti angkatan laut atau udara. Dengan lencana yang menempel pada saku dan lengan, kadang memakai topi pula. Seandainya Bapak ini masih muda, pasti akan terlihat tampan dan gagah.

Entah semenjak kapan aku mulai menyaksikan Bapak tinggi dan tambun berdiri di beranda rumahnya pada pagi, siang atau sore hari. Mungkin ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, semenjak itu pulalah Bapak tinggi dan tambun berada di depan teras rumahnya setiap hari. Hmm…mungkin akan lebih enak didengar jika aku menyebut beliau Bapak berseragam.

Pagi hari, ketika aku berangkat kuliah, tak pernah satu kali waktupun aku melewatkan kehadiran Bapak Berseragam, di depan teras mungilnya, menggumam, membicarakan sesuatu, sekumpulan kata-kata yang tak pernah tertangkap oleh telingaku. Sepintas, hanya lewat kemudian berlalu karena aku tak mau ketinggalan bus yang akan membawaku ke kampus.

Pagi selanjutnya, ketika aku kembali memulai beraktivitas, melewati gang yang sama seperti hari-hari sebelumnya, berangkat kuliah dan sederetan aktivitas yang akan membuatku lelah. Lagi, melihat Bapak berseragam dengan sekumpulan kata yang di komat-kamit melalui kedua katup bibirnya yang mengering. Merangkainya menjadi bahasa yang seolah hanya dapat di mengerti olehnya dan awan-awan yang sedang di tatapnya.

Bersama dunianya, Sang Bapak Berseragam berdiri menatap awan yang tampak di antara atap rumahnya dan rumah di depannya, hanya satu setengah meter jarak antara kedua atap tersebut, tetapi pandangan Sang Bapak jauh, mengelana, mungkin ke negeri dimana awan-awan berkumpul menopang padang ilalang oranye yang luas. Ah…ini imajinasiku saja.

Lalu Bapak Berseragam, menyandarkan tangan kanannya pada tiang di sebelahnya, lehernya sesekali menggeleng lalu mengangguk, matanya mengernyit kemudian, dahinya mengkerut, terlihat seperti berfikir, memikirkan tentang negeri dengan ilalang atau padang yang pernah di hampiri seribu kapal perang. Entahlah…

Pagi berikutnya, masih dengan stelan seragam warna birunya. Ujung jemari Sang Bapak menyentuh dedaunan palem mungil yang tertanam di pot di depan rumahnya. Masih dengan gumaman dan ekspresi yang tidak mampu kuterjemahkan. Kali ini Sang Bapak Berseragam lebih memilih daun palem dari pada gumpalan awan yang berjarak berpuluh kilometer dari pandangannya. Matanya menatap pada satu titik sementara kedua mulutnya terus saja bergumam pelan, mungkin sedang berbisik. Tangannya tak lagi bersandar pada tiang di sebelahnya, tetapi bersembunyi di belakang punggungnya yang kokoh.

Berhari-hari, menyaksikan seorang lelaki tua berseragam bercakap-cakap dengan awan dan daun palem. Memperhatikan gerakan tubuhnya yang canggung, ekspresi wajahnya yang datar, sesekali dahinya mengkerut dengan tangan yang bersandar pada tiang atau membelai daun palem membawaku pada bayangan bahwa suatu saat akan ada seseorang di depannya yang menerima pesan dari bibir sang Bapak yang mulai kering dan keriput. Mendengarkan Sang Bapak berseragam tentang cerita apa saja. Tentang dunianya yang begitu menerawang jauh, mungkin melebihi awan yang pernah di tatapnya setiap hari. Menjadi seramah kenari yang sedari tadi bercicit tak henti pada pucuk-pucuk mangga yang sedang bersemi.

@@@

Pagi kesekian. Sang Bapak tak tampak di beranda maupun didekat palem. Hanya ruang kosong pada teras mungil. Seperti ada satu episode pagiku yang hilang. Maka aku pelankan langkah, berharap mungkin ada waktu sekian detik untuk menunggu Sang Bapak Berseragam keluar dari pintu menuju teras mungilnya. Tapi nihil, hampir saja aku menuntaskan langkahku melewati teras itu ketika seorang laki-laki muda tiba-tiba keluar rumah sambil bercakap, mungkin dengan Ibunya.

“Bapak akan baik-baik saja Bu, di Rumah Sakit Bapak akan lebih mendapatkan perhatian”…

“Di Rumah Sakit hanya ada suster, mana ada orang lain yang mengerti Bapakmu selain keluarganya?”.

“Ibu, Bapak membutuhkan seseorang yang bisa mengembalikan orientasi kenyataannya yang tidak bisa di dapatkan di Rumah jika Ibu masih saja mengulang-ulang cerita tentang zaman perebutan kemerdekaan dulu”…

Sang Ibu terdiam, menyalami dan menepuk pundak anak laki-lakinya yang hendak berangkat bekerja. Tanpa sadar telah beberapa menit aku menghentikan langkah demi mendengar pembicaraan itu. Ah…apa pula urusanku dengan keluarga ini. Sang anak yang hendak menstarter motornya menatapku sekilas ketika melihatku berdiri tidak jauh dari beranda rumahnya, kemudian berlalu, menderukan mesin roda dua dengan asap yang hampir memenuhi gang. Astaga…mungkin aku telah ketinggalan bis yang membawaku ke kampus. Aku berlari sekencangnya, sambil berharap bisa menyaksikan Lelaki Berseragam dengan Bahasa Awan suatu hari nanti. Tentu saja ketika bahasa awan telah di terjemahkan ke dalam percakapan antara manusia.

7 Maret 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun