Mohon tunggu...
NurMila Rahmawati
NurMila Rahmawati Mohon Tunggu... -

Berusaha mencipta mimpi, mendaki lewat awan dan samudera, hingga bertemu langit...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Ingin Pulang Bersamamu, Ayah…(cerpen)

29 Mei 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:05 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika aku belum juga paham tentang lorong-lorong panjang ini, bau anyir, sanitasi yang tidak tertutup dengan rapat, menemani aku, Ibu dan nenekku sejak 10 hari terakhir. Kata nenekku bangunan ini bernama rumah sakit, gedung besar berlorong panjang, berbelok-belok, yang membuat kakiku pegal menyusurinya.

Oh ya, perkenalkan dulu, namaku Arini. Kelas satu SD. Ayahku di bawa ke Rumah Sakit ini semenjak 10 hari yang lalu. Kata orang-orang, ayahku jatuh saat bekerja. Aku, Ibu, dan nenekku menunggunya bergantian di samping ruangan tempat ayah di rawat. Nenekku membawa banyak bekal untuk kami menginap disini, di koridor rumah sakit ini, karena Rumah Sakit ini jauh dari rumah kami di desa. Ayahku di rawat di rumah sakit provinsi. Bersama dengan keluarga pasien yang lain, kami menunggu dengan sabar, bersiap ketika sewaktu-waktu Ibu perawat memanggil kami, membelikan Ayah obat dan keperluan ayah yang lain.

Cat putihnya mulai aku akrabi setiap hari, jika udara mulai panas aku suka menempelkan pipiku di dinding putih ini, dingin. Hingga Ibu mengambilkanku kipas anyaman bambu yang di bawanya dari rumah. Tapi kata Ibu perawat aku tidak boleh menempel-nempelkan pipiku di tembok rumah sakit, nanti bisa ketularan penyakit katanya. Aku mengangguk takut. Pakaian putih Bu Perawat mengingatkanku pada jarum suntik, seperti yang pernah dilakukan Bapak Dokter di puskesmas ketika aku sakit. Tentu saja aku tidak mau di suntik, kemarin saja sisa lebam di bokongku tidak sembuh dalam 3 hari.

Aku melihat Ayahku setiap hari lewat jendela kaca di samping tempat tidurnya, tapi sebelum Ibu memberi tahu dimana tempat tidur Ayah, aku tidak akan menjumpainya, karena dalam ruangan besar itu ada 20 tempat tidur, orang-orang sakit tergeletak dengan pakaian dan selimut yang sama. Yang membedakan adalah tanda di ujung tempat tidurnya. Mungkin bertuliskan nama Ayah, tapi tetap tidak bisa kubaca dari sini.

Ketika aku bilang bahwa aku ingin melihat ayah, Ibu bersiap menggendongku karena tinggi tubuhku tidak sampai pada kusen jendela yang bercat putih pula. Tapi kenapa ayah terus tidur, sementara di lehernya terpasang kalung besar yang menutupi seluruh sisi lehernya, sedangkan tangan ayah tersambung dengan tiga selang yang meneteskan cairan, entah cairan apa? Dua berwarna putih kekuningan, satu berwarna seperti susu.

Oopss…ini adalah hari kesebelas aku tidak masuk sekolah. Aku di bujuk nenekku pulang, tapi aku tidak mau. Aku mau pulang bersama Ayah. Naik bis besar kembali ke kota kami. Setelah ayah sembuh tentu saja.

###

Hari kedua belas. Nenek bersikeras mengajakku pulang, tapi aku lebih bersikeras untuk tetap tinggal. Aku akan menunggu Ayah sampai kami bertiga bisa pulang bersama. Ibu Perawat juga ikut membujukku, tapi aku tidak mau. Sia-sia saja mereka membujukku, aku akan mengeluarkan tangisan keras-keras agar mereka berhenti membujukku untuk pulang.

Aku kembali melihat ayah lewat jendela, kali ini ayah tidak bisa terlihat dengan jelas. Korden warna biru di tutup separuh oleh Ibu perawat. Tapi aku bisa melihat ayah dengan tambahan alat yang tidak kukenal itu apa, selang dengan kantong warna hijau yang tergantung di lehernya, sesekali Ibu di panggil masuk oleh Ibu perawat sementara aku tetap di luar, bermain sendiri, menempelkan pipi di tembok yang dingin, atau mengamati rerumputan dan semut yang berbaris di samping bangsal tempat ayah di rawat.

Ibu tergesa keluar bangsal ayah. Matanya sembab, Ibu baru saja menangis. Terpekur duduk di koridor tempat kami selonjoran selama menunggu ayah. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Aku mengintip lewat jendela seperti biasa, aku meminjam tas milik penunggu yang lain untuk menunjang tinggi tubuhku. Aku melihat Ibu perawat sedang menekan-nekan dada ayah, sementara yang lain memompakan balon berwarna hijau yang aku lihat tempo hari. Apakah ini buruk?. Entahlah, aku akan menanyakannya pada Ibu.

###

Hari ketiga belas. Aku masih tidak mau pulang. Mungkinkah aku kerasan disini?. Tentu saja tidak, tapi aku masih suka bermain dengan rumput disini, hijau terawat dengan rapi, tidak seperti di desaku yang rumputnya di biarkan tumbuh panjang-panjang. Lagi pula kalau udara mulai panas, aku bisa menempelkan pipiku di tembok ini, asal tidak ketahuan Ibu Perawat.

Pukul 10.30, aku kembali mengintip ayah lewat jendela, Ibu perawat dan teman-temannya melakukan hal yang sama seperti kemarin. Menekan-nekan dada ayah sambil sesekali memencet balon berwarna hijau lagi. Apakah ayah tidak merasa sakit di tekan-tekan seperti itu?. Sementara Ibu masih saja terpekur. Mengusap rambutku yang basah oleh keringat, mendekapku di tengah siang hari yang panas seperti ini. Ibu sedang bersedih, aku tahu itu.

###

Hari keempat belas. Kejadian dua hari berturut-turut terulang kembali. Ayah kembali dikerumuni oleh Ibu perawat dan beberapa orang lain berbaju putih, aku tidak dapat membedakan mana dokter mana perawat karena bagiku sama saja.

Aku kembali mengangkat tas di dekat jendela. Melihat Ayah di kerumuni orang-orang berbaju putih lebih banyak dari kemarin. Entah apa yang mereka lakukan terhadap ayah. Sekitar setengah jam kemudian, mereka meninggalkan ayah satu persatu. Salah satu dari mereka melepas selang yang tertancap di lengan ayah, melepas kalung besar yang dililit di leher ayah, dan menyelimuti ayah hingga seluruh kepalanya tertutup.

###

Ibu masih saja terpekur ketika Ayah di bawa keluar dari ruang perawatan. Selimutnya kini berwarna putih, bukan selimut bermotif zebra seperti sebelumnya. Ibu tidak menangis, hanya matanya semakin cekung, jemarinya dingin, membisikkan padaku sesuatu “Ucapkan Innalillah Nak, Ayahmu sudah tiada…”, di akhir kalimatnya Ibu membenamkan kepalanya pada kain kerudung hijau yang di pakainya, bahunya terguncang karena isak. Ibu sedang lebih dari sedih, aku tahu itu. Aku juga tahu kalau aku tidak bisa pulang bersama ayah naik bis besar seperti yang kuinginkan beberapa hari lalu.

###

Aku masih akrab dengan lorong ini, mengingatkanku pada kejadian 15 tahun lalu. Ketika ayah tergeletak di salah satu bangsal di Rumah Sakit ini. Tapi kini semuanya berbeda. Aku telah memakai baju berwarna putih beserta cap putih di atas rambut hitamku. Kini aku tahu mengapa Ibu perawat melarangku menempelkan pipi di tembok, karena aku baru saja menegur satu anak perempuan mungil yang menempel-nempelkan pipi di tembok Rumah Sakit ini.

28 Mei 2011 (terinspirasi dari penghuni-penghuni koridor RSDS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun