Mohon tunggu...
Insan Setia Nugraha
Insan Setia Nugraha Mohon Tunggu... wiraswasta -

Full timer blogger. Author. Digital Campaign Strategic.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Trah Soekarno, Putra Cendana, dan Penerus Cikeas

1 November 2014   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:55 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perjalanan Bangsa ini, setidaknya ada tiga generasi penguasa yang karena kemapanan dalam kuasa dan keberpengaruhannya berhasil membawa negeri kita ke arah tertentu yang mereka kehendaki. Terlepas apakah arah ini sehaluan ataukah justru berseberangan dengan kehendak dan akal sehat masyarakat. Yang pasti, karena kekuasannya besar dan mengakar, mereka berhasil menorehkan corak untuk Indonesia. Dan pada akhirnya: meninggalkan warisan.

Tetapi kita pun tahu, para “raja-raja” ini tak ada satu pun yang mandul. Sehingga, warisan dari mereka pun tak hanya berupa kultur, politik, hukum, atau apa pun yang kita sebut sebagai “yang publik”. Tetapi juga keturunan dalam arti sebenarnya; biologis. Anak-Cucu. Yang pada gilirannya, keturunan Soekarno, Seoharto dan SBY ini sama-sama “berbuat” untuk Indonesia. Tak peduli lakunya bagi Bangsa ini menguntungkan atau merugikan; konstruktif ataukah justru destruktif. Tapi sejarah mencatat, para keturunannya itu memiliki panggung di negeri ini.

Trah Soekarno

Pada mulanya adalah Soekarno. Salah satu proklamator kemerdekaan bangsa, presiden pertama Republik Indonesia. Satu keturunannya yang paling moncer terlahir dari rahim istrinya, Fatmawati. Ia pernah menduduki kursi presiden dan setidaknya dari era orde baru hingga sekarang, melalui partai politik yang diketuainya, selalu terlibat aktif dalam menentukan arah Indonesia, baik dalam posisinya di pemerintahan (eksekutif) ataupun di luar pemerintahan (berposisi menjadi penyeimbang pemerintah di parlemen). Dan tahun ini merupakan tahun kejayaannya kembali  Megawati. Dengan mempercayakan pada salah seorang anak wanitanya sebagai panglima kampanye, Puan Maharani, Mega berhasil mendudukkan salah satu kader terbaik partainya menjadi RI 1 dengan jalan dan drama politik paling mengesankan sekaligus emosional dalam sejarah politik Indonesia.

Tetapi Megawati bukan satu-satunya trah Soekarno yang sanggup melanjutkan laku ikhtiar bapaknya di kancah politik Indonesia. Anaknya, generasi ke-3 dari Seokarno, secara bertahap dan mantap, berhasil menunjukkan kiprahnya dalam panggung politik negeri ini. Puan Maharani, yang cukup malang melintang di parlemen dengan rekor suara pribadi terbanyak nasional, kini menjadi salah satu koordinator pembantu Presiden. Tidak hanya track record kerja yang menjadi bahan pertimbangan Presiden Jokowi dalam memilih cucu Soekarno ini sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kabinet Kerja. Tapi, ia dinyatakan lolos dari evaluasi KPK dan PPATK, dua lembaga yang secara langsung diminta rekomendasinya oleh Presiden sebagai bahan pertimbangan dirinya memilih para anggota kabinetnya. Dan ibu satu anak ini pun kini didapuk menjadi salah satu menteri koordinator yang secara kebetulan menjadi menteri termuda.

Para Putra Soeharto

Pasca Soekarno lengser via Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dan digantikan oleh Pangkopkamtib waktu itu, Letkol Soeharto pada tahun 1966, Indonesia mengalami babak baru kekuasaan dengan runtuhnya Orde Lama (Orla) dan digantikan dengan Orde Baru (Orba). Berkuasa selama 30 tahun berturut-turut tanpa terselangi oleh rezim mana pun (1968-1998), dengan gaya khas “pendekatan keamanan”, membuat kekuasaan Orba begitu efektif. Tetapi kita tahu, efektivitas kepemimpinan Soeharto tak hanya dari sisi stabilitas politik semata, bahkan “stabilitas dapur”nya pun teramankan dengan sedemikian sempurna. Bersama dengan para pengusaha kongsinya, ia membangun konglomerasi di Indonesia dengan harapan, para konglomerat ini dapat meneteskan kekayaannya kepada masyarakat luas. Dan sejarah mempertontonkan, cita-cita luhurnya tersebut tak terwujud dan malah sebaliknya.

Seperti Soekarno, keturunannya pun memiliki panggungnya sendiri di negeri kita. Jika trah Soekarno berkiprah fokus dalam gerakan politik (walau ada beberapanya yang menjadi seniman dan pengusaha), anak cucu Soeharto lebih heterogen, namun dengan dominasi di wilayah bisnis.  Bersama para kolega bapaknya, mereka membangun “Kerajaan Cendana” yang usahanya, kita tahu, begitu abu dan menggurita. Melalui kebijakan monopoli dan tradisi nepotis (sebuah tradisi yang kelak ingin dihancurkan para tokoh reformis), para putra cendana berhasil meneguhkan eksistensinya sebagai “si super kaya” dengan gaya hidup jet set dan ekspos selevel selebritas. (Tempo melaporkan korupsi keluarga Cendana dengan cukup detail, http://goo.gl/rUArx3). Sampai akhirnya era reformasi pun mencerabut sebagian kuasa kartel ini.

Mulai dari kasus Yayasan Supersemar yang mendapatkan dana dari sisa laba bersih bank-bank pemerintah, hingga yang paling dramatis, kasus pembunuhan Hakim Syafiuddin Kartasasmita oleh generasi pertama rezim Orba ini, Tommy Soeharto, “Cendana” yang asalnya positif dan menjadi “simbol” kekuasaan yang kharismatik, kini bertransisi menjadi suatu lambang korupsi yang berpretensi negatif. Dan pada era “Revolusi Mental” ini, para putra Cendana seolah kehilangan dayanya. Ia tersingkir dari panggung media, terlebih panggung kekuasaan.

Penerus Cikeas

Mantan Menkopolkam kabinet Gotong Royong Megawati ini berhasil menjadi “kuda hitam” dalam Pilpres 2004. Bersama Jusuf Kalla, SBY mengungguli peroleh suara mantan “bos”nya sendiri. Dengan gilang gemilang, SBY tak hanya berhasil secara individual, tetapi ia pun mampu membesarkan partai yang didirikannya, Partai Demokrat (PD) menjadi “partai baru” yang dengan begitu cepat mencuri hati masyarakat. Terbukti, pada Pemilu legislatif 2009, PD sukses memborong mayoritas kursi di DPR-RI dengan total perolehan 148 kursi.

Jika keturunan Soeharto lebih kita kenal sebagai pengusaha, maka fokus laku publik para penerus Cikeas hampir menyerupai trah Soekarno. Jika Pak Karno mewariskan cita-cita dan ideologi politik pada anak wanitanya Megawati, maka SBY mengestafetkan perjuangan politik pada anak laki-lakinya yang bernama Edi Baskoro Yudhono (Ibas).

Politisi muda ini mempunyai karier politik yang tergolong cepat. Bersama Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PD yang saat ini menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, Ibas menjadi pimpinan partai besar besutan bapaknya itu. Menjadi anggota DPR-RI selama dua periode (2009 dan 2014) dari fraksi Demokrat dan menjabat Sekjen DPP PD, Ibas meneguhkan eksistensi dirinya dalam dunia politik dan kenegaraan.

Tetapi godaan kekuasaan dan ambisi politik sepertinya cukup membutakan mata suami Siti Ruby Aliya Rajasa, anak Hatta Rajasa ini. Ibas disebut-disebut namanya dalam beberapa kali acara persidangan kasus proyek Hambalang oleh mantan ketua umum partainya sendiri, Anas Urbaningrum juga mantan bendaharanya, Nazaruddin. Dan kita tahu, kasus korupsi selalu menjadi momok menakutkan bagi politisi mana pun karena dalam konteks citra publik, inkrah pengadilan bukan segalanya; bahkan dugaan tersangka pun telah cukup mampu merontokkan citra diri si politisi yang memang jabatan publiknya tersebut menuntut untuk tampil tanpa cacat.

Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa ketiga keluarga rezim tersebut tidak fair jika dikomparasikan begitu saja; apple to apple, mengingat beda konteks zaman serta dimensi lainnya yang mahakompleks. Namun, kita pun tak dapat begitu saja menutup fakta bahwa memang keluarga penguasa negeri ini ada yang baik dan ada pula yang buruk. Penilaian ini bukan penilaian Tuhan yang Melampaui apa pun yang mustahil kita lampaui sebagai manusia yang penuh keterbatasan. Namun individu-individu yang terbatas ini, yang telah sama-sama berkomitmen dalam sebuah kelompok yang bernama masyarakat, dengan segala keterbatasannya telah mempunyai kesepakatan nilai yang diamini secara kolektif. Dan kita biasanya menyebut penilaian kolektif itu dengan istilah etika atau norma. Dan sebagiannya telah dilembagakan oleh negara dan kita memberi nama: hukum.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun