Pilkada secara langsung yang diterapkan sejak tahun 2005 memang telah menjadi tonggak penting dalam demokrasi di Indonesia. Namun setelah dua dekade berjalan, kita menyaksikan banyak problematika yang terus berulang. Biaya politik yang sangat tinggi, polarisasi sosial di tingkat akar rumput, dan tidak sedikit kepala daerah hasil pilkada yang justru tersandung kasus korupsi.
Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang menelan triliunan rupiah setiap periode, sudah saatnya kita mempertimbangkan alternatif sistem yang lebih hemat, efektif, namun tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan akuntabilitas publik.
Evaluasi Sistem Pilkada Langsung: Biaya Tinggi, Hasil Belum Memuaskan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mencatat lebih dari 160 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi antara tahun 2004 hingga 2024. Di sisi lain, pelaksanaan pilkada secara langsung juga membutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar, baik untuk penyelenggaraan teknis, pengamanan, hingga dana kampanye para calon yang seringkali disokong oleh sponsor politik.
Ironisnya, demokrasi yang seharusnya melahirkan pemimpin yang bersih dan kompeten justru terjebak dalam politik transaksional, dimana uang menjadi penentu utama keberhasilan kontestasi. Ini menjadi alasan kuat untuk merancang ulang suatu format pilkada ke arah yang lebih meritokratis, efisien, dan akuntabel.
Solusi Alternatif: Seleksi Berbasis Meritokrasi dan Pemungutan Suara oleh Wakil Rakyat
Kita bisa mengadopsi model baru yang tetap demokratis namun tidak melewati pemungutan suara langsung oleh rakyat, melainkan pemilihan melalui wakil-wakil rakyat di DPRD. Model ini bukan kemunduran demokrasi, namun reposisi cara berdaulat yang tetap representatif. Berikut solusi yang diusulkan:
1. Pemilihan Bupati/Wali Kota:
a. Tahapan Seleksi Calon:
- KPU Kabupaten/Kota membentuk Pansel (Panitia Seleksi) independen tingkat kabupaten/kota melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama, Forkopimda Kabupaten/Kota, akademisi, serta perwakilan ormas/LSM.
- Pansel menyeleksi  calon-calon kepala daerah melalui metode merit system, termasuk rekam jejak, visi-misi, dan integritas personal, dll.
- Hasilnya: 5 kandidat Bupati/Wali kota terbaik diloloskan untuk tahapan berikutnya.
b. Uji Kepatutan dan Kelayakan di DPRD Kabupaten/Kota:
- DPRD Kabupaten/Kota melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap lima kandidat Bupati/Wali kota secara terbuka
- Penilaian meliputi gagasan pembangunan daerah, kapasitas kepemimpinan, dan rencana program unggulan daerah 5 tahun ke depan.
c. Pemungutan Suara oleh DPRD Kabupaten/Kota:
- Pemungutan suara dilakukan oleh seluruh anggota DPRD Kabupaten/Kota (disarankan menggunakan sistem e-Voting).
- Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah diberi hak suara setara 5 poin, sebagai penyeimbang otonomi daerah dengan kebijakan nasional.
- Kandindat dengan suara terbanyak menjadi Bupati/Wali Kota dan peringkat kedua menjadi Wakil Bupati/Wakil Wali Kota.
2. Pemilihan Gubernur:
a. Seleksi oleh Pansel Tingkat Provinsi:
- KPU Provinsi membentuk Pansel independen tingkat provinsi, melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama, Forkopimda Provinsi, akademisi, serta perwakilan ormas/LSM.
- Pansel menyeleksi  calon-calon kepala daerah melalui metode merit system, termasuk rekam jejak, visi-misi, dan integritas personal, dll.
- Hasilnya: 5 kandidat gubernur terbaik dipilih untuk masuk ke tahap uji kepatutan dan kelayakan.
b. Uji Kepatutan dan Kelayakan di DPRD Provinsi:
- DPRD Provinsi melakukan melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap lima kandidat Gubernur secara terbuka
- Penilaian fokus pada agenda pembangunan tingkat provinsi yang terintegrasi dengan program nasional.
c. Pemungutan Suara oleh DPRD Provinsi:
- Pemungutan suara dilakukan oleh seluruh anggota DPRD Provinsi (disarankan menggunakan sistem e-Voting).
- Kemendagri sebagai representasi pemerintah pusat di daerah dan pembina kepala daerah diberi hak suara setara 5 poin dalam pemilihan ini .
- Kandindat dengan suara terbanyak menjadi Gubernura dan peringkat kedua menjadi Wakil Gubernur.
Keuntungan Model Pemilihan Berbasis Meritokrasi
1. Efisiensi Anggaran
Biaya penyelenggaraan pilkada dapat ditekan signifikan karena tidak membutuhkan logistik besar seperti TPS, kotak suara, pengamanan, dan biaya honorarium KPPS.
2. Meningkatkan Kualitas Calon
Proses seleksi berbasis merit system dan diseleksi oleh tokoh kredibel memperkecil peluang calon instan atau "karbitan" dengan hanya bermodalkan uang semata.