Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bola Politik Qatar dan Dosa Eropa di Mata Presiden FIFA

21 November 2022   04:29 Diperbarui: 21 November 2022   06:58 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola politik Qatar dan dosa Eropa di mata Presiden FIFA | Dokumen oleh Reuters/Pawel Kopczynski) diambil dari CNN Indonesia.

Sepak bola bisa menjadi ajang merajut persaudaraan, tetapi juga pada sisi yang lainnya ternyata ada komentar yang membongkar kembali sejarah | Ino Sigaze.

Beberapa hari ini saya coba mengikuti perkembangan terkait topik Bola Dunia Qatar 2022 yang telah ditayangkan pada 8 November lalu. Sebenarnya tidak ada dalam benak saya bahwa urusan bola itu ada hubungannya dengan politik.

Namun, kali ini rupanya sedikit berbeda, di sana ada nuansa baru yang dihidangkan, tidak hanya berhenti pada bola dunia Qatar 2022, tetapi juga erat pula dengan sikap dan penilaian Barat tentang tanah Jazirah.

Sudut pandang Barat tentang tanah Jazirah-Bola dunia Qatar 2022

Latar perbedaan sudut pandang antara Barat dan Qatar pada event bola dunia itulah, tampak presiden FIFA naik pitam. Gianni Infantino, pria kelahiran 23 Maret 1970 di Brig, Valais itu sempat mencuri perhatian publik Eropa, ketika ia mengkritik negara-negara Barat yang sedang mempertanyakan hak asasi manusia di Qatar menjelang Piala Dunia.

Bagi Infantino pertanyaan kritis apapun yang datang dari Barat terkait hak asasi manusia di Qatar adalah bentuk kemunafikan. Barat seharusnya mempertimbangkan masa lalu mereka sendiri sebelum mengkritik negeri Jazirah.


Eropa tentu saja punya masa lalu yang suram bahkan bisa dikatakan mengerikan (grausam) dan seram. Lebih-lebih ketika mata dunia menoleh ke lembaran sejarah dan membaca dengan keras, maka betapa malunya. 

Tidak heran, kalau Infantino begitu tegas dan kritis menilai itu semua. Ya, jika Eropa menyadari tindakan mereka selama 3000 tahun terakhir, maka seharusnya Eropa meminta maaf 3000 tahun ke depannya sebelum mengajarkan orang lain tentang hak asasi manusia.

Presiden FIFA, anak dari pekerja tamu Italia itu telah menunjukkan sikap tegasnya terkait hubungan tematik antara bola dan hak asasi manusia yang perlu dipilah-pilah. Diferensiasi tema memang penting dilakukan agar fokus utama tidak menjadi samar-sama.

Kritik Presiden FIFA pada Barat

Di tengah gejolak bola dunia Qatar 2022, pria yang punya sejarah pernah berada di divisi ke 5 untuk FC Folgore yang kemudian menjadi FC Brig-Glis itu berani mengajukan pertanyaan, "Berapa banyak perusahaan Eropa atau asing yang menghasilkan jutaan, bahkan milyaran dari Qatar, telah berbicara kepada pihak berwenang tentang hak-hak pekerja migran?" Bdk. Laporan BBC sebagaimana dikutip oleh News 360, Sabtu, 19.11.2022.

Satu bentuk pembelaan yang militan telah dilakukan Infantino saat ini. Ia membela posisi Jazirah sebagai tuan rumah turnamen di negara yang dikritik secara pedas karena aktivitas dan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) dan tindakan tidak bermartabat kepada pekerja asing di sana.

Selama kurang lebih satu jam konferensi pers bertemakan pledoi Presiden FIFA berlangsung. Satu ucapan yang mungkin paling berkesan bagi dunia, yakni ketika ia mengatakan, "Hari ini saya memiliki perasaan yang sangat kuat. Hari ini saya merasa Qatar, saya merasa Arab, saya merasa Afrika, saya merasa gay, saya merasa cacat, saya merasa pekerja migran." Ya, itulah pledoi dengan nada empati sang Presiden FIFA.

Dari barisan kata-katanya itu, terlihat bahwa Infantino tidak sedang mengatakan bahwa dirinya telah menjadi sama dengan semua tuduhan tentang Qatar, tetapi hatinya merasakan seperti hati penduduk Qatar; dan ia mengerti apa artinya diskriminasi sebagai orang asing di negara asing.

Polemik berwajah diskriminasi itu berawal dari pernyataan terkait film dokumenter ZDF terkait pemain sepak bola nasional Qatar Khalid Salman bahwa gay itu membahayakan mental. Dalam sudut pandang Presiden FIFA itu jelas-jelas bahwa cara menilai orang seperti itu tidak lain merupakan satu bentuk kemunafikan.

Side effect dan double effect polemik bola dunia Qatar 2022

Alur polemik ini, bagi saya punya dua efek, yakni side effect, efek samping dan double effect, efek ganda. Pertama, soal efek samping: Pernyataan bernada diskriminasi itu menjadikan ukuran bahwa penilai tidak bisa melihat diri dan sejarah bangsanya sendiri. Konsekuensinya adalah ajang sepak bola akan dipolitisasi sedemikian, sehingga atmosfer persaudaraan tidak tampak akrab.

Kedua, efek ganda: Eropa akan menjadi sorotan terkait masa lalu dan tentu saja terkait LGBT yang tidak sedikit tumbuh subur di sana. Sangat mungkin bahwa media Qatar akan memberikan tanggapan terkait itu, supaya penilai tidak hanya asal omong, tapi harus dengan rasa tanggung jawab. 

Efek ganda yang satunya adalah bahwa posisi sudut pandang Presiden FIFA bisa menjadi satu target bully karena dia adalah warga Eropa yang coba menjadi pahlawan di tanah Jazirah.

Meskipun demikian, saya percaya bahwa apa yang dilakukan Presiden FIFA itu lebih karena rasa kemanusiaan yang dimilikinya. Bisa saja dari pernyataan dan pertanyaan refleksi Presiden FIFA menjadikan Eropa sendiri perlu bertanya diri, seberapa besar ruang pengakuan (Anerkennung) dan penerimaan (Akzeptanz) terkait kemajuan dan perkembangan Qatar.

Catatan kritis, antara bola dunia Qatar dan dosa Eropa

Eropa dalam hal ini diajak oleh Presiden FIFA supaya belajar dari negara-negara lain yang begitu maju dan berkembang secara khusus dalam dunia sepak bola. Dalam hal ini, sikap politis dan opsi keberpihakan Presiden FIFA memang pantas diapresiasi dunia.

Sekalipun demikian, tentu saja konfirmasi dari pihak pemerintahan Qatar perlu diperhatikan. Pada prinsipnya berapapun nyawa manusia, tetap harus diperhitungkan soal martabatnya dan bukan soal berapa jumlahnya. 

Taruhan nyawa para pekerja yang membangun stadion misalnya mesti menjadi catatan pihak Presiden FIFA. 

Kemegahan saat ini, rupanya telah diukir dengan darah dan korban. Ya, konfirmasi pihak Qatar bahwa ada 37 orang yang meninggal dalam proses pembangunan stadion megah itu.

Lusail  Iconic Stadium punya catatan sejarah bukan semata-mata tentang keburaman yang perlu dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, tetapi biar dunia tahu bahwa kita sama-sama manusia yang punya salah dan dosa dan mari berbenah, bdk, lagu dari Ebiet G. Ade. 

Memang tidak pantas hanya menatap balok pada mata sesama, tetapi orang perlu berjuang melihat dan membebaskan balok pada matanya sendiri juga.

Al Jazeera yang berarti pulau sudah pasti akan menjadi sorotan dunia. Ia bahkan menjadi seperti rebutan dunia. Namanya disebut seperti Indonesia di forum KTT G20 belakangan. Satu yang tidak boleh lupa bahwa perkembangan dan kemajuan suatu bangsa tidak boleh mengorbankan manusia.

Bagi mereka yang telah meneteskan keringat dan darah untuk dandanan stadion megah Lusail  Iconic mesti ada kompensasi dana dari FIFA, wajar bukan? Secercah harapan semoga olahraga sepak bola dunia menjadi momen persaudaraan global. Mari pulih bersama dari cengkraman krisis-krisis yang ada.

Salam berbagi, ino, 21.11.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun