Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada 5 Pendekatan dan Solusi Alternatif dalam Upaya Mengatasi Klitih

8 April 2022   04:08 Diperbarui: 9 April 2022   03:46 2122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku klitih bawa celurit satu meter mengejar sasarannya dari Kabupaten Sleman hingga Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelaku yang beberapa di antaranya adalah pelajar beraksi hingga melukai dua orang. Foto: Kompas.com/Dani Julius

Jika pelajar suka andalkan otot bukan otak, maka bukan saja fisik mereka yang perlu diolah, tetapi juga nalar dan dimensi spiritual mereka perlu disapa.

Setelah membaca ulasan tema kompasiana tentang "Klitih di Jogja", saya tersentak oleh pengalaman masa lalu saya sendiri di saat masih di masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Pengalaman masa muda saat belum mengenal istilah klitih; di Flores umumnya dikenal dengan istilah tawuran antar pelajar.

Masa remaja adalah masa tidak pernah mengenal takut. Masa di mana rasa ingin coba memuncak setiap saat dalam semua hal. Masa-masa itu masih terhipnotis oleh film India dan Wirosableng 212 dengan jurus kera dan macam-macam lainnya.

Saya sendiri tidak bisa mengerti mengapa pada masa itu begitu tergila-gila dengan jurus-jurus pencak silat, kungfu, taekwondo, kempo dan lain sebagainya.

Tiga tahun masa itu dihabiskan dengan saat-saat pertarungan tiada henti bukan saja di tempat latihan bersama dengan sesama perguruan, tetapi juga dengan perguruan lain pada sore dan malam harinya.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang bagi saya positif, jika saya lihat kembali ke belakang, mengapa saya bisa lolos dari puncak gairan uji coba fisik tanpa otak pada masa itu.

Ada satu realitas yang cukup menonjol pada masa itu di kalangan pelajar yang perlu dipikirkan terkait  klitih:

Memahami selera pelajar umumnya: suka adu otot daripada adu otak

Pada usia sebagai pelajar sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa tidak pernah takut berantem dengan sesama teman dari sekolah lain. Bahkan pernah beberapa kali berantem dengan polisi.

Kalau diperhatikan dengan baik umumnya bermula dari masalah yang sangat sederhana, entah tegal pacar yang disenggol, atau bisa saja tentang jaga nama baik sekolah, reputasi teman dan lain sebagainya.

Gengsi dan jaga reputasi diri dan sekolah sering menjadi pemicu dari klitih. Saya kira bukan saja di Yogyakarta, tetapi di seluruh pelosok tanah air ini, di mana ada beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, pasti punya potensi untuk klitih.

Pada masa itu terlihat sekali bahwa nalar waras, diskusi dan penyelesaian melalui forum musyawarah itu hampir semata-mata teori doang. Karena setiap persoalan di jalanan, di asrama pasti berujung dengan tawuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun