Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Survei Capres dan Tensi Politik Menjelang Pilpres 2024

26 Februari 2022   03:28 Diperbarui: 27 Februari 2022   08:00 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warga menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) | (ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI via kompas.com)

Tensi politik menjelang pilpres 2024 bisa saja tidak stabil, tetapi kriteria siapa capres 2024 sudah pasti dia yang punya self branding dari rekam jejak digital di media sosial hingga kini.

Rilisan hasil survei dengan mengunggulkan tiga nama paling populer sebagai calon presiden di pilpres 2024 terasa tidak mengejutkan publik. Survei bisa dilakukan kapan saja dan oleh lembaga apa saja tentunya. Akan tetapi, hasil survei itu bukan merupakan jaminan kestabilan elektabilitas calon.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan memberikan gambaran bahwa survei berperan bisa saja seperti menggiring opini publik, namun masyarakat Indonesia saat ini adalah masyarakat cerdas yang percaya karena melihat kenyataan dan bukan percaya karena tajir berdiplomasi waktu debat.

Tentu tidak bisa dilupakan bahwa  survei sepanjang waktu sampai 2024 itu ibarat momen untuk menghitung dan mengukur kestabilan tensi darah seseorang. Nah, dari segi itu sebenarnya kehadiran calon yang namanya sudah mulai diperbincangkan publik saat ini sama dengan seseorang yang ingin secara rutin mengukur tensi darah nya secara teratur (regelmäßig).

Mengukur elektabilitas barangkali sama dengan mengukur tensi darah. Tensi darah seseorang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Kestabilan tensi darah seseorang hanya bisa dicapai dengan kedisiplinan yang ekstra.

Disiplin makan, minum, tidur, kerja dan hal-hal lainnya yang berkaitan langsung dengan tubuh manusia. Nah, dari sisi perspektif seperti itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan elektabilitas calon presiden 2024 nanti.

Elektabilitas bisa saja berubah lagi turun atau sebaliknya meningkat sangat tergantung pada calon itu sendiri dalam hal mengkonsumsi dan mencerna segala macam perkembangan, tantangan dan dinamika di negeri ini. 

Pertanyaan penting dalam hal ini bisa menjadi rujukan survei dan kriteria pilihan rakyat:

1. Seperti apa komitmennya untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya?

Komitmen kepemimpinan mesti pertama-tama merujuk kepada pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. Memang tidak mudah bagi rakyat untuk mengetahui perihal komitmen seorang calon pemimpin.

Meskipun demikian, tensi politik di negeri ini bisa diamati melalui survei yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian yang diakui negeri ini. Survei itu berkaitan dengan komitmen kepemimpinan seorang calon presiden (Capres) dalam pandangan masyarakat Indonesia secara lebih luas.

Komitmen kepemimpinan itu bisa dilihat secara jelas melalui kehidupan capres yang direkam media sosial. Tentu berhadapan dengan media pendukung capres, akan tetapi masyarakat semestinya bisa mendengar langsung apa yang dikatakannya dan apa yang sudah menjadi kenyataan dari apa yang dikatakannya.

Alat ukur komitmen  capres semestinya adalah kesejajaran antara apa yang dikatakannya dan apa yang telah menjadi kenyataan. 

Pada tingkat itu, sudah bisa dilihat dengan jelas, mana capres yang manis di bibir, tetapi tidak bisa merealisir janji-janjinya dan mana capres yang punya komitmen dekat dengan rakyat dan berpihak pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Adakah indikasi keberpihakan pada kepentingan gerakan radikalisme?

Kriteria penting yang perlu menjadi rujukan dalam survei semestinya juga berkaitan dengan indikator hubungan dan keberpihakan dengan gerakan radikalisme. 

Nah, dalam poin ini sebenarnya, masyarakat Indonesia sudah bisa melihat dengan jelas bukan saja soal apa yang pernah capres itu katakan, tetapi bagaimana partisipasi dan kehadirannya dalam mendukung gerakan radikalisme selama ini.

Ilustrasi tentang Survei capres dan tensi politik menjelang pilpres 2024 | Dokumen diambil dari: merdeka.com
Ilustrasi tentang Survei capres dan tensi politik menjelang pilpres 2024 | Dokumen diambil dari: merdeka.com

Poin tentang pertimbangan keberpihakan pada radikalisme mesti diperhatikan dengan serius. Kendala besar ketika capres yang memang punya kepentingan dengan radikalisme itu lolos, maka gerakan radikalisme yang ditekan selama ini akan bertumbuh subur dan kembali menunjukkan taringnya yang sewenang-wenang.

Apakah masyarakat Indonesia setuju dengan figur yang seperti itu? Saya pikir lebih baik punya capres yang biasa, bukan dari latar belakang yang terkenal pandai bersilat lidah, lalu mengelabui masyarakat dengan janji dan dalil logis yang tidak bisa dibantah.

Capres yang biasa dan sederhana dalam hal ini yang tidak menunjukan tensi emosional tidak seimbang dan tidak terlalu banyak berdalil dengan argumen-argumen yang terkadang tidak masuk akal. 

Dari tiga calon unggulan hasil survei itu sebenarnya sangat jelas di mata masyarakat, siapa yang menempati posisi capres yang biasa dan dekat dengan rakyat dan siapa yang temperamental dan yang suka berkutit dengan argumen-argumen sok cerdas, tapi tidak bisa mendarat di hati rakyat.

3. Seperti apa komitmen dan gagasannya selama ini terkait pluralisme di bawah payung Pancasila dan UUD 1945?

Selain komitmen terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, ternyata sangat penting juga bahwa capres yang perlu digodok dalam survei selanjutnya adalah capres yang punya konsep dan gagasan tentang pluralisme di Indonesia di bawah payung Pancasila dan UUD 1945.

Pemahaman capres terkait keberagaman di Indonesia mesti terus diperlihatkan ke publik. Nah, hal seperti itu bisa dilihat dalam gagasan-gagasan mereka selama ini. Atau bahkan bisa saja perlu ada wawancara khusus terkait tema tentang kebhinekaan, Pancasila dan UUD 1945.

Saya pikir tema tentang kebhinekaan, Pancasila dan UUD 1945 sangat penting, sehingga ketika capres itu menjadi presiden, ia akan tetap setia dengan pemahaman yang benar tentang dasar negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tentang kebhinekaan bangsa ini. 

Sebaliknya, bukan tidak mungkin, jika salah memilih, gerakan yang ingin mengganti Pancasila bisa saja mencapai puncak kejayaannya, apalagi jika presidennya punya paham radikal ekstrim.

Saya lebih melihat bahwa seorang capres itu harus seorang yang benar-benar berakar pada kultur dan budaya Indonesia dan bukan berselimutkan kultur Indonesia. Selimut bisa saja suatu saat dibuang dan diganti dengan yang lainnya.

4. Bagaimana rekam jejak digital capres selama ini?

Poin yang tidak kalah menariknya adalah soal jejak digital capres. Setiap capres sudah pasti punya jejak digital. Jejak digital itu adalah gambaran diri dan visi yang tersembunyi untuk bangsa ini.

Ketiga pertanyaan di atas bisa saja menemukan jawabannya melalui jejak digital capres itu sendiri. Menyelami jejak digital bukan berarti tidak percaya bahwa capres itu tidak akan berubah, kalau ditemukan jejak digital capres yang patut dicurigai dan diragukan.

Menjadi pemimpin itu bukan saja soal percaya atau tidak, tetapi soal kebenaran yang dimengerti secara sederhana sebagai kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan atau hasilnya.

Kebenaran yang perlu menjadi rujukan masyarakat Indonesia saat ini adalah kebenaran yang bisa dilihat melalui media sosial dan perbandingan-perbandingan dengan media-media lainnya yang bisa diakses tentang seorang capres.

Pertanyaannya, yakinkah Anda bahwa figur itu bisa dipercaya? Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak yakin, tetapi harus dilengkapi dengan rujukan jejak digital sebelumnya sebagai bukti yang membuat Anda percaya. Bukti yang meyakinkan Anda itu tentu bersentuhan dengan kebenaran.

Catatan kritis tentang tensi politik: antara self branding dan sopo siro, sopo ingsung

Tensi politik menjelang Pilpres memang akan menjadi tidak stabil, jika sebagian besar masyarakat Indonesia belum bisa melihat dan menemukan figur yang bisa menjawab 4 pertanyaan di atas. 

Sebaliknya, jika masyarakat Indonesia bisa menggunakan 4 pertanyaan itu sebagai kriteria dalam menilai capres, maka saya yakin tensi elektabilitas bisa saja tidak stabil, tetapi sudah pasti pilihannya pasti tepat sasar.

Tidak boleh dilupakan bahwa masa setelah survei itu adalah masa khusus bagi setiap capres untuk berbenah diri. Nah, terkait hal ini kriteria yang mesti diperhitungkan bukan soal rekam jejak saat ini (ketika ia punya nama sebagai capres), tetapi lihat juga masa lalunya. Dua tahun ke depan bisa saja waktu yang penuh dengan drama untuk membangun brand ke publik. 

Capres itu bukan seorang bayi berusia dua tahun, yang bisa dipercaya jika hari ini dia baik, maka dua tahun ke depan masih bisa dibentuk dan menjadi baik. Usia capres itu juga sangat menentukan bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman saat ini.

Hanya dua kemungkinan yakni bahwa capres yang tidak punya kredibilitas moral baik, setelah dua tahun nanti, dia akan kembali ke dirinya yang sebenarnya dan bukan yang sekarang terlihat di media sosial sebagai yang baik. Kemungkinan lainnya, jika dari sononya baik, maka bukan hanya dua tahun ini dia menjadi baik, tetapi setelahnya nanti, dia akan menjadi lebih baik lagi.

Hati-hati lho dengan capres yang memang bisa punya potensi mengatakan ini: sopo siro, sopo ingsung atau siapa kamu, siapa saya. Karakter capres yang sopo siro, sopo ingsung bisa saja kalau dia punya kepentingan lain seperti radikalisme. Ya, kemungkinan menjadi pemimpin yang diktator dan otoriter bisa saja ada dari capres hasil survei sekarang ini. 

Demikian empat pertanyaan yang bisa menjadi rujukan survei capres selanjutnya dan juga bisa menjadi kriteria capres pilihan rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, capres yang akan unggul dalam pilpres 2024 nanti adalah dia yang brand kepemimpinannya tidak dibangun sekarang, tetapi sudah sebelumnya, yang bisa diakses melalui ruang bebas media sosial. 

Salam berbagi, ino, 26.02.2022.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun