Hero tidak sanggup menahan derita. Ia memutuskan untuk pindah ke kampung sebelahnya sampai sekarang. Ya, nasib mujur memang selalu dekat dengan orang-orang yang rajin kerja dan tulus hatinya.
Keyakinan itu rupanya adalah suatu kebenaran. Hero mulai dari nol lagi, karena semua yang sudah diusahakannya sudah diambil orang. Ia membangun rumah keduanya di wilayah itu.
Ia membuka kebun baru yang jauh dari kumpulan  orang-orang kampung. Ya, ia memilih berkebun sendiri di tengah hutan, sampai-sampai semua menuai rasa heran.Â
Mengapa Hero begitu berani melakukan hal itu? Berkat kesetiaan dan ketekunannya, ia memanen hasil yang berlimpah. Hero tidak hanya menanam padi dan jagung, tetapi di sana ditanam juga pisang, umbi-umbian, kakao, kopi, kemiri, merica, bahkan ia punya beberapa ternak peliharaan.
Hero menuai hasil keringatnya dengan kelimpahan yang hampir tidak bisa dimengerti oleh orang-orang asli di sana. Hero lagi-lagi tidak pernah luput dari rayuan menjadi ART sementara bagi orang-orang asli dan berpangkat di sana.
Tenaga dan jasa Hero selalu saja dibutuhkan hampir pada setiap pesta di kampung sana. Orang bisa dengan mudah menjadikannya asisten untuk menangani bagian seksi tertentu seperti pada bagian penyediaan kayu api.
Maka Hero akan dengan sigap menjadi asisten yang melayani pesanan orang-orang di desa itu.Â
Hero bisa duduk memasak dan lain sebagainya sesuai selera tuan pesta atau sesuai selera pejabat-pejabat di sana. Hero dalam tutur adat di sana digelar sebagai Ana kuni ata dheko rewo atau anak suruhan yang bisa ikut ke mana saja dan untuk apa saja.
Hero menjadi ART dengan nasib malang. Pengalaman pahit pertama di kampung seberang toh kembali terulang. Beberapa orang meminjam uang, tetapi tidak mau mengembalikannya. Mereka berpura-pura lupa dan akhirnya sengaja melupakan semua jasa dan kebaikan Hero.Â
Ada lagi yang meminjam kayu papan untuk pembuatan rumah, tanpa pernah mengembalikannya. Ada juga yang meminjam ternak sapi punya Hero juga tanpa mengembalikannya.