Ruang untuk menulis seperti sudah retak dari konsep ketika orang punya waktu yang aman dan sendiri di rumah, hingga tak berdinding, bahkan tak punya alasan lagi bagi penulis untuk mengukir kata-kata termasuk pada saat-saat sayap burung besi terus melayang terbang.Â
Pelayanan ekstra yang ramah berdatangan saat jari-jari berteman mesra dengan kata-kata termasuk ketikan goyangan kecil Sang Qatar merayu mimpi sejenak.Â
Pelayan-pelayan ramah datang menawarkan makan malam, ya seporsi lasagna dan anggur putih menyejukan dahaga di angkasa, hingga lapar dan lelah pergi entah ke mana.Â
Internasionalitas dan keramahtamahan
Penerbangan berjalan lancar hingga tiba di Doha. Dari monitor informasi terlihat tayangan keseluruhan tentang bandara Doha yang begitu unik dan menarik. Lagi-lagi pelayanan yang ramah petugas yang bekerja di bandara menularkan kesan bahwa ukuran internasionalitas menempatkan keramahtamahan pada tempat yang sangat penting.Â
Rasa ngantuk dan lelah bertubi-tubi datang, menunggu di ruang tunggu untuk melanjutkan penerbangan ke Jakarta. Ternyata suasana di ruangan tunggu di Doha sudah sangat mirip di Jakarta.
Begitu banyak orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, guyonan dan candaan ala masyarakat tanah air selalu menjadi kado gratis mulai dari Doha sampai Jakarta.
Menikmati cerita teman perjalanan
Selama dalam perjalanan dari Doha ke Jakarta ada dua teman yang berdekatan dengan tempat duduk saya, khususnya di depan sebelah kiri, kedua nya asik banget bercerita tentang bagaimana kerja di Italia dan kerja di Jerman.
Ibu setengah baya berbaju putih dengan sepatu tumit tinggi itu seperti membius pria muda yang masih berangan-angan ke Jerman. Mulai dari cerita gaji besar sampai dengan kemudahan sekolah tanpa biaya dan digaji pemerintah.
Namun, keluhan bahkan hal yang selalu menjadi tantangan adalah standar dan tuntutan pendidikan di Jerman yang sulit dan lain sebagainya.