Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Revisi UU ITE: Antara Formulasi dan Kejelasan Berpikir

18 Februari 2021   06:22 Diperbarui: 18 Februari 2021   06:28 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tema aktual yang ditawarkan Kompasiana kali ini adalah Revisi UU ITE.  Istilah yang menarik dari tema ini tentu revisi. Istilah ini terhubung langsung ke dalam bahasa hukum, revisi berarti mengajukan banding terhadap putusan yang akan diajukan, yang dengannya akan diperiksa terkait dengan penerapan undang-undang yang tidak benar atau karena kekurangan prosedural lainnya dalam putusan. 

Revisi berasal dari kata bahasa Latin, revidere yang berarti untuk melihat lagi, juga revisio yang berarti suatu pemeriksaan ulang (Bdk. Neueswort.de)

Jika kata revisi  merujuk kepada kata Latin revidere dan revisio, maka wacana tentang revisi UU ITE perlu mempertimbangkan beberapa hal ini:

Pertama, revisi dalam arti yang sebenarnya tidak sama dengan menghapus. Dalam kbbi.web.id disebutkan, revisi adalah kata benda yang berarti peninjauan kembali (pemeriksaan) kembali untuk perbaikan. Sedangkan merevisi berarti memperbaiki; memperbarui. Pertanyaannya, pasal berapa UU ITE, yang perlu atau harus dilihat lagi atau harus diperiksa ulang atau harus diperbarui? Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa bukan dihapus.

Kedua, gelombang suara baik yang dukung revisi, maupun tengah mendiskusikan ihwal revisi sudah terdengar mulai dari Presiden Joko Widodo, lalu Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menko Polhukam Mahfud MD, Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman bahkan pengamat politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi yang menilai lampu hijau bagi peluang revisi UU ITE. (Bdk. CNN Indonesia, Selasa, 16/02/2021). 

Selanjutnya dalam Jakarta, Kompas 16/02/2021, Rini Kustiasih menegaskanWacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang dilontarkan Presiden Joko Widodo didukung sejumlah fraksi di DPR." Artinya di kalangan Elit Politik Indonesia, wacana tentang revisi UU ITE ini merupakan tema aktual yang sedang dibahas dan ramai dibicarakan. Pertanyaannya, mengapa wacana revisi ini begitu penting?


Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang wacana revisi UU ITE:

1. Pernyataan dari Komnas HAM : Bertolak dari Pasal 27 ayat 3 terkait pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait penyebaran ujaran kebencian berbasis SARA itu sangat bermasalah. 

Hal itu karena dua pasal itu berdampak pada pembatasan kritik yang adalah juga hak konstitusional warga yang menjamin kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. (Bdk.  Jakarta, CNN Indonesia| Selasa, 16/02/2021). 

Dalam hal ini ada harapan melalui revisi UU ITE, setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memberikan kritik. Point kebebasan dalam memberikan kritik adalah poin sentral, namun seperti apa kebebasan memberikan kritik itu mesti harus dijelaskan. 

Tentu diharapkan bahwa orang boleh mengkritik, tetapi dengan tetap berpegang pada etika, tata krama, sopan santun bukan? Ini tantangan bagi pihak yang akan merevisi, formulasi seperti apakah sehingga orang bisa dijerat dari pasal UU ITE yang direvisi nanti atau sampai batas manakah kritik seseorang itu tidak terjerat pasal UU ITE?

Kegagalan memperjelas formulasi pasal UU ITE yang akan direvisi itu sama dengan mengulang kesalahan yang sama membiarkan tafsiran bebas atau dalam istilah yang lagi viral pasal Karet."

2. Menurut Presiden Joko Widodo: Peluang mengubah pasal karet itu terkait dengan kemungkinan implementasi yang menimbulkan ketidakadilan. Bahkan Presiden Joko Widodo menegaskan hapus pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak (CNN Indonesia | Selasa, 16/02/2021). 

Artinya dalam merevisi UU ITE itu sendiri, pihak yang merevisi perlu secara kritis memperhatikan penggunaan diksi bahkan harus dihindari diksi yang metaforis, sehingga tidak bisa ditarik ke kiri atau bisa ditarik ke kanan dan ke segala arah. Dalam kaitan dengan diksi yang mudah menimbulkan beragam tafsir itulah yang perlu dihapus dari pasal yang mau direvisi. Jadi, bukan hapus sama sekali pasalnya. 

3. Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo: Payung hukum yang mengatur soal dunia digital di Indonesia itu malah acap kali menciptakan polarisasi di tengah masyarakat dan bahkan berpotensi dipakai untuk mengkriminalisasi." (CNN Indonesia | Selasa, 16/02/2021). 

Polarisasi itu sendiri istilah yang masih terlalu umum untuk dipahami sesuai arti aslinya yang ketiga menurut KBBI (pembagian atas dua bagian kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya yang berlawanan). 

Polarisasi pada batas manakah yang dianggap telah melanggar UU ITE? Ada juga polarisasi yang muncul karena beda kepentingan politik bukan? Kejelasan rumusan pasal UU ITE itulah yang dibutuhkan sekarang agar kecenderungan multitafsir itu bisa dibatasi di satu sisi dan keadilan dan perlindungan hak seseorang sesuai pasal hukum yang tertulis itu bisa ditegakkan. 

Dengan kejelasan rumusan itulah, maka pasal hukum itu tidak bisa ditafsir sesuka hati, bahkan terkesan represif terhadap kelompok tertentu dan tumpul terhadap kelompok yang lainnya.

Karl Popper (1902-1994) adalah salah satu filsuf ilmu pengetahuan paling berpengaruh pada abad ke-20. Popper membuat kontribusi yang signifikan untuk debat mengenai metodologi ilmiah umum dan pilihan teori, demarkasi ilmu pengetahuan dari non-sains, sifat probabilitas dan mekanika kuantum, dan metodologi ilmu sosial. (Bdk. https://www.philoclopedia.de/blogeintr%C3%A4ge/karl-popper/) 

Dia mengembangkan suatu metodologi dengan nama Metodologi pemalsuan Popper" Menurutnya teori-teori ilmiah ditandai dengan memerlukan prediksi bahwa pengamatan di masa depan mungkin terungkap palsu. 

Ketika teori dipalsukan oleh pengamatan semacam itu, para ilmuwan dapat merespons dengan merevisi teori, atau dengan menolak teori yang mendukung. 

Popper berpendapat bahwa praktik ilmiah ditandai dengan upaya berkelanjutan untuk menguji teori terhadap pengalaman dan membuat revisi berdasarkan hasil tes ini. Gagasan filosofis Popper ini memberikan suatu sumbangan positif berupa suatu perspektif bahwa untuk suatu revisi dibutuhkan hal ini:

1. Bagaimana prediksi para pengamat politik dan pembuat Undang-Undang ketika UU ITE disusun dan disahkan. Popper dalam hal ini mengkritik pengamatan palsu karena baru beberapa tahun diberlakukan UU ITE itu, akhirnya harus masuk ke dalam zona geliat revisi. 

Menurut Popper langkah untuk merevisi itu adalah bagian dari respon para ilmuwan untuk terus menguji teori atau (pasal hukum) berdasarkan pengalaman. Karena itu, geliat revisi UU ITE harus disertai dengan penelitian ilmiah dan bukan hanya dengan pernyataan-pernyataan revisi dan hapus pasal karet.

2. Jika revisi UU ITE itu berhasil dilakukan dan menghasilkan pasal yang sudah diperbarui, pertanyaannya: Apakah setelah itu tidak ada wacana tentang bagaimana dengan pihak-pihak yang sudah terkena pasal yang kita cerca sekarang ini? Siapakah mereka harus kita namakan: Korban UU ITE yang lama? Dimanakah keadilan? Apakah ada juga remisi untuk pihak-pihak yang terkena pasal UU ITE itu sendiri sebelumnya?

Geliat revisi UU ITE boleh memasuki pintu wacana di tanah air. Namun, kajian-kajian kritis yang didukung dengan data, pengalaman, teori dan prediksi tetap menjadi pegangan ketika bicara tentang revisi nanti.

Ruang digital Indonesia akan bersih, sehat, beretika dan produktif, jika tanpa kepalsuan yang terus menyangkal kesatuan kita di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Revisilah dengan hati dan pikiran yang jernih untuk kemajuan bangsa ini.

Ino,18.02.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun