Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Revisi UU ITE: Antara Formulasi dan Kejelasan Berpikir

18 Februari 2021   06:22 Diperbarui: 18 Februari 2021   06:28 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegagalan memperjelas formulasi pasal UU ITE yang akan direvisi itu sama dengan mengulang kesalahan yang sama membiarkan tafsiran bebas atau dalam istilah yang lagi viral pasal Karet."

2. Menurut Presiden Joko Widodo: Peluang mengubah pasal karet itu terkait dengan kemungkinan implementasi yang menimbulkan ketidakadilan. Bahkan Presiden Joko Widodo menegaskan hapus pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak (CNN Indonesia | Selasa, 16/02/2021). 

Artinya dalam merevisi UU ITE itu sendiri, pihak yang merevisi perlu secara kritis memperhatikan penggunaan diksi bahkan harus dihindari diksi yang metaforis, sehingga tidak bisa ditarik ke kiri atau bisa ditarik ke kanan dan ke segala arah. Dalam kaitan dengan diksi yang mudah menimbulkan beragam tafsir itulah yang perlu dihapus dari pasal yang mau direvisi. Jadi, bukan hapus sama sekali pasalnya. 

3. Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo: Payung hukum yang mengatur soal dunia digital di Indonesia itu malah acap kali menciptakan polarisasi di tengah masyarakat dan bahkan berpotensi dipakai untuk mengkriminalisasi." (CNN Indonesia | Selasa, 16/02/2021). 

Polarisasi itu sendiri istilah yang masih terlalu umum untuk dipahami sesuai arti aslinya yang ketiga menurut KBBI (pembagian atas dua bagian kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya yang berlawanan). 

Polarisasi pada batas manakah yang dianggap telah melanggar UU ITE? Ada juga polarisasi yang muncul karena beda kepentingan politik bukan? Kejelasan rumusan pasal UU ITE itulah yang dibutuhkan sekarang agar kecenderungan multitafsir itu bisa dibatasi di satu sisi dan keadilan dan perlindungan hak seseorang sesuai pasal hukum yang tertulis itu bisa ditegakkan. 

Dengan kejelasan rumusan itulah, maka pasal hukum itu tidak bisa ditafsir sesuka hati, bahkan terkesan represif terhadap kelompok tertentu dan tumpul terhadap kelompok yang lainnya.

Karl Popper (1902-1994) adalah salah satu filsuf ilmu pengetahuan paling berpengaruh pada abad ke-20. Popper membuat kontribusi yang signifikan untuk debat mengenai metodologi ilmiah umum dan pilihan teori, demarkasi ilmu pengetahuan dari non-sains, sifat probabilitas dan mekanika kuantum, dan metodologi ilmu sosial. (Bdk. https://www.philoclopedia.de/blogeintr%C3%A4ge/karl-popper/) 

Dia mengembangkan suatu metodologi dengan nama Metodologi pemalsuan Popper" Menurutnya teori-teori ilmiah ditandai dengan memerlukan prediksi bahwa pengamatan di masa depan mungkin terungkap palsu. 

Ketika teori dipalsukan oleh pengamatan semacam itu, para ilmuwan dapat merespons dengan merevisi teori, atau dengan menolak teori yang mendukung. 

Popper berpendapat bahwa praktik ilmiah ditandai dengan upaya berkelanjutan untuk menguji teori terhadap pengalaman dan membuat revisi berdasarkan hasil tes ini. Gagasan filosofis Popper ini memberikan suatu sumbangan positif berupa suatu perspektif bahwa untuk suatu revisi dibutuhkan hal ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun