Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Adalah Kebebasan

30 Januari 2017   23:51 Diperbarui: 31 Januari 2017   01:04 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu siang di pena dan buku, dua orang anak sedang duduk asyik membaca buku. Tiba tiba salah satu dari mereka melempar buku itu jatuh ke lantai. Aku kaget melihatnya dan bertanya ke anak tersebut “lho kenapa bukunya dilempar ?” tanyaku seraya mengambil buku itu dari lantai. Anak itu menjawab “itu buku jelek tante, ada gambar itu”. Aku langsung membuka halaman yang dimaksud, tampak di gambar itu umat sedang beribadah dan ada mimbar yang di depannya ada simbol agama. Buku itu sendiri adalah buku pengetahuan mengenai kebesaran Tuhan. Tidak ada konten kekerasan, pornografi, diskriminasi SARA. Ingin hati aku menjelaskan ke anak itu, namun sayang dia sudah lari meninggalkan kios pena dan buku.

Temannya masih setia membaca di lapak, dan malah penasaran dengan gambar tadi. Dia mencari cari gambar yang dimaksud temannya“wah iya tante ada gambar ini, buku ini gak boleh dibaca tante” katanya seraya menunjuk gambar yang dimaksud. Mendengar komentarnya yang sependapat dengan temannya, membangkitkan rasa ingin tahuku. “kata siapa memang tidak boleh dibaca ?” tanya ku. “ kata bapak, gak boleh baca buku ini” jawabnya. Ah iya..siapa lagi yang paling bisa mempengaruhi anak anak selain orang dewasa yang tinggal disekitarnya, mulai dari orang tua, guru sekolah dan tetangga sekitar, pikirku.

Mereka berdua masih kelas dua SD namun kemampuan  melabel suatu hal bahwa ini boleh dan tidak boleh untuknya sudah terpilah secara jelas. Aku menggali memori masa kecilku saat aku kelas dua SD apakah aku sudah seperti mereka. Seingatku teman temanku beragama yang sama denganku, ada tetangga yang berbeda agama namun tidak menjadi temanku. Bukan karena agamanya, tapi karena usianya jauh di atasku. Untuk persoalan buku bacaan, orang tuaku tidak pernah sekalipun melarang aku membaca buku A atau buku B. 

Sekali waktu aku pernah membaca kitab suci agama lain, lebih karena penasaran apakah tulisannya arab atau latin. Aku membacanya lebih dari satu kali, dan tidak berefek apapun. Aku tetap mengaji tiap sore dengan ibu guru yang sering ketiduran saat aku mengaji. Terkena semilir pohon kapuk depan rumah katanya. Tanpa larangan dari orang tua, membebaskan aku untuk membaca yang aku suka. Dan akhirnya akulah yang menentukan mana buku yang sesuai untukku dan mana buku yang belum sesuai dengan umurku.

Kemampuan manusia mengenal simbol sudah dimulai sejak usia 2 tahun.  Bahkan manusia mengenal symbol dahulu daripada huruf dan angka. Fase ini menurut piaget dinamakan  fase pra operasional. Kemudian manusia akan memasuki fase perkembangan operasional konkret ketika memasuki sekolah dasar. Fase inilah yang sedang dialami oleh dua sahabat kecil pena dan buku. Pada fase ini anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, dan sudah mampu menyelesaikan masalah selama bersifat konkret. 

Terkadang mereka jadi sangat aktif bertanya tentang suatu hal dan baru terpuaskan bila jawabannya sebuah penjelasan yang masuk akal menurut mereka.  Dan kemampuan mengenal symbol akan terus berkembang menjadi sebuah penjelasan logis kenapa symbol ini buruk atau symbol ini berbahaya atau symbol ini baik atau symbol ini suci.  Perlahan apa yang dipahami menjadi sebuah keyakinan, yang amat memungkinkan membekas hingga dewasa. Hanya pengalaman hidup yang mereka lewati mampu merubahnya. Dan aku berharap mereka menemukan pengalaman hidup itu.

“kamu boleh kok dek baca buku apa saja, mau yang ada salib, mau yang berpakaian biksu, mau yang sembahyang di pura, boleh baca semuanyaaa” jelasku kepada cahaya, sahabat kecil pena dan buku. “ urusan agamamu ada di hati ini” jelasku menunjuk ke dadanya. “keyakinan islam kita ada di hati” tegasku. Dia mengangguk angguk. Mungkin penjelasanku belum bisa dia mengerti, akhirnya dia bertanya lagi “ jadi boleh ya tant baca buku ini ?” tanyanya, “tentu saja boleh, kan islam kita ada dimana ? “ tanyaku balik “ada di hati” sambil menunjuk dadanya jawabnya mantap.

Yang terjadi dengan anak anak itu adalah gambaran kejadian sekarang. Banyak orang ketakutan untuk mengenal bahkan untuk membaca saja mereka sudah enggan. Ketakutan yang berlebihan menurutku. Lebih senang mengetahui yang menjadi kesukaan mereka, mengelak bila dikenalkan dengan hal baru. Dan parahnya sukanya menjustifikasi bahwa hanya dia yang benar dan yang lainnya salah, kemudian mendoktrin ke anak dan keluarganya untuk beropini yang sama. Itu sama saja mematikan akal pikiran.

Membaca itu seharusnya juga dibarengi dengan sifat berliterasi, yakni melakukan kebiasaan berfikir.  Bukankah setiap hari kita selalu berfikir ? Kebiasaan berfikir dalam konteks literasi beda dengan berfikir saat kita menjalani kehidupan. Kebiasaan berfikir yang dimaksud adalah selalu ingin tahu, selalu bertanya kenapa dan mengapa, dan kemudian mencari tahu. Ketika dia sudah tahu pun dia masih bertanya lagi, karena ternyata semakin banyak tau semakin menyadari bahwa dia dalam ketidaktahuan. Membaca bukan seperti menelan makanan, yang semuanya terbawa ke lambung. Membaca itu seperti menyaring, hanya yang baik bagi akal yang masuk, yang buruk jangan. Kemampuan menyaring ini terbentuk dari kebiasaan. Semakin sering membaca, semakin pandai menyaring makna.

Kalau hanya karena membaca akhirnya membuat keyakinan kita ini goyah, maka itu berarti kita kurang banyak membaca. Dan bila setelah banyak membaca, keyakinan kita tambah goyah ya berarti kita harus terus membaca. Pada akhirnya kembali ke ayat pertama yaitu IQRO’. Sayangnya budaya literasi ini selesai sampai tataran lulus sekolah, hari terakhir memakai seragam mungkin sama dengan hari terakhir berliterasi. Padahal dengan kita terus menggerakan bandul literasi di otak, maka kemampuan berpikir dan menyaring makna juga terasah.

Sayangnya, membaca yang trend saat ini adalah membaca status yang ada di media social. Tulisan tulisan panjang yang menggugah empati dalam hitungan detik sudah tershare ke seantero dunia. Seorang penulis idola pernah berkata “membaca buku itu jelas berbeda, hanya di buku kita bisa mendalami sebuah materi”. Saya tercenung mendengarnya, betapa selama ini makna membaca telah tertutupi dengan postingan media social. Kedalaman berita yang tertulis di surat kabar saja jelas berbeda dengan surat kabar online. Apalagi tulisan di medsos dan di buku. Kecakapan membaca buku pastinya akan dibarengi dengan kecakapan memahami suatu makna. Jadilah gelas kosong ketika membaca agar setelahnya gelasmu akan terisi penuh dan bisa diminum untuk memuaskan dahaga

Salah satu cara untuk membentuk budaya literasi adalah keberlanjutan. Selalu istiqomah dalam membaca. Tidak hanya sekedar membaca yang sesuai dengan pemahaman kita tetapi juga yang berbeda. Sayangnya orang lebih banyak berhenti membaca karena sudah merasa paling tau semuanya. Padahal semakin membaca semakin kita menyadari bahwa kita ini tidak tau. Dari tau menjadi tidak tau, itulah efek membaca.   Cara lainnya untuk membentuk budaya literasi adalah dengan pendekatan akses fasilitas, kemudahan akses, murah, dan menyenangkan.

 Pena dan buku didirikan di pasar salah satunya karena ingin mendekatkan diri kepada warga pasar pada umumnya, dan anak anak pasar pada khususnya. Literasi harus dikenalkan sejak dini, dimulai dengan kebiasaan mendongeng, saling bercerita di keluarga, saling menulis surat (aku masih menyimpan surat surat ku dari almarhumah omaku), membacakan buku cerita. Dibuat dengan situasi menyenangkan dulu, bebaskan dari kata kata "ini buku jelek ini buku bagus", lebih tepatnya "ini buku yang sesuai dengan usiamu dan ini buku yang nanti kamu baca ketika kamu sudah besar". Buatlah buku menjadi sahabat, ciptakan rasa senang bila melihat buku.

Kegiatan rutin seperti mendongeng dan mewarnai untuk anak anak dilakukan setiap minggu sore di pena dan buku. Kegiatan selasar yang berkonsep sharing pengalaman juga rutin diadakan. Karena sejatinya itulah yang membuat buku “hidup” dan  mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Sekarang beberapa preman pasar menjadi pengunjung setia pena dan buku, mereka mulai menyempatkan dirinya membaca di waktu luang. Ah mungkin sebenarnya bukan hanya karena ketakutan membaca, tetapi juga karena kesulitan akses.

Maka akhirnya, membaca itu adalah sebuah kebebasan, bebas berimajinasi, bebas mengenal sesuatu yang berbeda, dan bebas  memahami makna yang berbeda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun