Mohon tunggu...
Y. B. Inocenty Loe
Y. B. Inocenty Loe Mohon Tunggu... Guru - Instruktur Pembelajaran Kreatif, Penulis, Kandidat Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Yohanes Baptista Inocenty Loe, Saat ini menjadi kandidat Magister Teknologi Pendidikan di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ia bekerja sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta di kota Kupang, sekaligus menjadi instruktur pelatihan menulis dan pembelajaran kreatif berbasis digital di NTT. Sebagai seorang instruktur menulis, karya-karyanya telah diterbitkan di media massa cetak maupun online. Ia telah menerbitkan tiga buku yaitu Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa, Literasi di Atas Awan dan buku terbarunya berjudul Prinsip-Prinsip Demokrasi John Rawls (Menguak Kebebasan dan Kesetaraan). Selain itu, ia juga adalah editor yang telah mengedit puluhan buku dan membantu banyak pihak untuk menerbitkan bukunya. Sebagai pelatih pembelajaran kreatif berbasis digital, ia banyak kali diundang ke berbagai kesempatan di wilayah NTT untuk berbagi inspirasi dan motivasi. Kemampuannya ini telah dibuktikan dengan berbagai pencapaian dan penghargaan yang diraihnya. Pada 2021, dinobatkan sebagai penulis aktif tingkat Nasional dan guru aktif literasi tingkat nasional. Di bidang pembelajran kreatif berbasis digital, seluruh karya dan inovasinya pernah ditanyakan di TVRI Nasional pada program Inspirasi Indonesia, akhir 2022 lalu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miskin karena Adat (Praktik Belis di NTT)

28 Februari 2024   12:56 Diperbarui: 28 Februari 2024   13:09 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Solusi: Mempertimbangkan Zaman

Saya tidak ingin sepenuhnya mempersalahkan otoritas adat tetapi berusaha menjelaskan bahwa ia perlu mempertimbangkan perubahan zaman. Menurut saya, hukum adat tidak boleh ditafsir secara utuh tetapi harus ditafsir dalam perkembangan zaman. Demikianpun, persoalan belis haruslah ditafsir dalam keseluruhan alur zaman.

Hukum adat seperti praktek belis merupakan sebuah tradisi yang sifatnya tradisional. Ia hadir dari rahim masyarakat tradisional dengan segala tuntutan saat itu. Boleh dikatakan, hukum adat seperti belis merupakan konstruksi manusia-manusia tradisional yang jauh dari pola pikir modern. Tentu ada perbedaan dan jarak signifikan antara masyarakat tradisional yang saya maksudkan dengan masyarakat modern yang ditandai dengan individualitas segala aspek. Oleh karena itu, tesis ini mempertegas bahwa hukum-hukum adat tidak boleh ditafsirkan dan dipraktekan secara buta di zaman ini.

Bisa dibayangkan, pada masyarakat tradisional saat itu, mereka hidup dalam situasi dimana tuntutan untuk membayar biaya sekolah anak tidak ada, tuntutan untuk membeli kebutuhan hidup tidak ada, dan tuntutan untuk membeli kebutuhan lainnya juga belum ada. Dari situasi demikian hukum adat seperti belis dikonstruksikan. Menjadi jelas bahwa di tengah zaman yang ketat dengan biaya hidup, praktek adat seperti belis tidak lagi harus ditafsirkan secara buta. Ia harusnya dipraktekkan dalam perkembangan zaman. Maksud dari hukum adat seperti belis, harus mentransfor-masikan diri ke dalam jejak perubahan zaman adalah agar ia tidak kehilangan maknanya. Tentunya, belis tidak bisa menuntut beban yang terlalu besar dari anggota suku seandainya mereka hidup dalam keterbatasan bahkan kekurangan. Praktek belis harus mengambil bentuk lain yang relevan dengan tantangan zaman ini sehingga ia tetap eksis dan maknanya tetap utuh untuk diwariskan dari generasi ke generasi.

Solidaritas Privasi

Hemat saya, kelemahan otoritas adat adalah terlalu altruisme. Altruisme dapat dimengerti dalam sebuah kelompok yang anggota-anggotanya benar-benar larut di dalam kelompoknya sehingga tidak memiliki kepentingan sendiri yang berlawanan dengan kepentingan kelompoknya. Altruis dapat dimengerti sebagai orang yang sedapat mungkin mengutamakan kepentingan kelompok atau suku dibandingkan kepentingan sendiri. Sikap altruis, di satu sisi sangat diperlukan dalam sebuah solidaritas dengan yang lain tetapi menjadi ancaman jika terus menerus mengabaikan kepentingan pribadi yang juga penting.

Dalam persoalan belis, kesepakatan adat memiliki legitimasi untuk menentukan besarnya tuntutan setiap anggota suku. Tuntutan itu seringkali tidak memperhitungkan kemampuan pribadi dari anggota suku. Oleh karena itu, otoritas adat harus meninjau ulang seberapa jauh kualitas solidaritas terhadap privasi anggota suku. Tuntutan harus mempertimbangkan kemampuan setiap pribadi. Altruisme yang dikembangkan otoritas adat haruslah memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan pribadi. Ia harus mengusahakan keseimbangan antara solidaritas untuk kepentingan kelompok dan solidaritas untuk kepentingan pribadi. Dalam artian ini, kesepakatan belis harus menyelipkan pertimbangan akan solidaritas terhadap anggota yang mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutannya. Besarnya tuntutan harus menggarisbawahi kemampuan setiap pribadi dalam suku.

Maksud dari solidaritas privasi ini adalah untuk mengembalikan adat kepada jati dirinya sebagai pelekat persaudaraan. Persaudaraan sejati hanya dapat dibangun di atas altruisme yang memperhatikan kepentingan privasi. Altruisme yang mengabaikan privasi menjadi sumber keretakan persaudaraan dalam suku. Solidaritas privasi harus menjadi bahan pertimbangan otoritas adat dalam memberikan tuntutan. Dalam persoalan belis, tuntutan harus memperhatikan kemampuan dan kekuatan setiap anggota suku. Jika tidak maka praktek belis bisa saja menjadi sumber beban yang memiskinkan anggota-anggotanya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun