Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?

22 November 2014   13:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:08 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu judul berita di medanbisnisdaily (20/11-2014). Disebutkan pula: Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’adudin Djamal, SE, mengakui tiap tahun jumlah penderita HIV/AIDS di Banda Aceh meningkat.

Judul berita itu menyiratkan ada “kambing hitam”. Padahal, HIV sebagai virus ada dalam darah manusia yang sudah tertular HIV atau mengidap HIV/AIDS. Orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terkait dengan suku, bangsa, ras, agama dan pekerjaan karena seseorang bisa tertular HIV/AIDS berdasarkan perilakunya (kecuali ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari suami).

Satu hal yang menjadi persoalan besar di Aceh adalah anggapan bahwa HIV/AIDS ada setelah tsunami (Desember 2004) yang dibawa oleh orang-orang luar Aceh yang datang dengan berbagai alasan, seperti kemanusiaan, dll. (Lihat: Ironis, Tidak Ada Program Konkret Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh).

Sebelum Tsunami

Memang, data HIV/AIDS di Aceh sebelum Desember 2004 kecil. Tapi, ini tidak membuktikan tidak ada kasus HIV/AIDS di Aceh sebelum Desemer 2004 karena:

(1) Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan terkait dengan HIV/AIDS, seperti survailans tes HIV hanya dilakukan satu kali.

(2) Sebelum Desember 2004 tidak ada fasilitas, seperti sarana, untuk tes HIV di semua daerah di Aceh.

(3) Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan penyuluhan HIV/AIDS sampai ke masyarakat baik oleh pemerintah maupun LSM.

Sebaliknya, setelah Desember 2004 banyak kegiatan terkait dengan HIV/AIDS. Ada penyuluhan, advokasi, pelatihan wartawan dan LSM, penyediaan sarana tes HIV di beberapa daerah, dll.

Maka, amatlah wajar dan masuk akal kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Aceh satu demi satu terdeteksi. Bahkan, ada penduduk Aceh yang melakukan tes HIV di Medan, dan banyak pula pengidap HIV/AIDS penduduk Aceh yang terdaftar di Medan karena pada mulanya layanan HIV/AIDS, seperti tes HIV, tes CD4, obat antiretroviral (ARV), dll. hanya ada di Medan. Data terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 200.

Tapi, perlu dingat bahwa angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu angka yang terdeteksi (200) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut.

14166116561070681673
14166116561070681673

Rupanya, jumlah kasus yang dilaporkan (200) menimbulkan reaksi keras di berbagai kalangan di Aceh. Padahal, kalau survailans tes HIV terhadap berbagai kalangan, tes HIV terhadap perempuan hamil, tes HIV terhadap pasien “penyakit kelamin” (kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, dll.) dijalankan angka kasus HIV/AIDS akan lebih menggemparkan lagi.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa kasus yang sedikit justru berdampak buruk karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah. Itu terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak mengetahi kalau dirinya sudah tertular HIV/AIDS.

Ini beberapa tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS seperti dilaporkan medanbisnisdaily.

Praja Cls menilai hal ini sungguh sangat memalukan. Sebab kota Banda Aceh terkenal dengan kota Islam di Indonesia. Seharusnya kejadian ini tidak terjadi di kota ini. HIV / AIDS disebabkan karena hubungan intim yang berpindah - pindah (gonta-ganti pasangan -red), atau karena penggunaan narkoba.

Kondisi Hubungan Seksual

Praja rupanya tidak mengetahui fakta bahwa di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD suda melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS. Ini belum termasuk kasus HIV yaitu orang-orang yang tertular HIV tapi belum masuk masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Lagi pula penularan HIV/AIDS tidak terkait langsung dengan perbuatan yang dilarang agama, seperti transfusi darah dan penggunaan jarum suntik pada penyalahguna narkoba secara bergantian. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual pun terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah).

Disebutkan pula oleh Praja Cls: "Apakah masyarakat Aceh sekarang buta dengan ajaran agamanya? Peraturan harus lebih ketat diterapkan dan (aparat harus rajin -red) memberantas tempat - tempat prostitusi."

Nah, di Arab Saudi tidak ada tempat hiburan, tidak ada panti pijat, dan tidak ada pelacuran, tapi kasus AIDS banyak dilaporkan. Itu terjadi karena bisa saja laki-laki Arab tertular di luar Arab Saudi. Hal yang sama terjadi di Aceh. Bisa saja ada laki-laki Aceh yang tertular HIV/AIDS di luar Aceh dan menularkan HIV di Aceh kepada istrinya.

Ada pula Intan Aminah yang mengatakan: "Apalagi yang digodanya itu punya keimanan yang lemah dan tidak bisa membentengi dirinya dari godaan yang menjerumuskan dirinya.”

Astaga, tanpa dia sadari ternyata Intan ini sudah menghina kaumnya yaitu perempuan karena banyak perempuan, dalam hal ini istri, yang beriman tapi tertular HIV. Mereka tertular HIV dari suaminya dalam hubungan seksual yang hal yaitu antara suami dan istri.

Selain itu ada juga Adhi Aslam Bahar, yang mengatakan melihat dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, provinsi Aceh masih yang terkecil kasus HIV/AIDS-nya. Pertama, ini salah karena laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes, tanggal 15 Agustus 2014 menyebutkan kasus HIV/AIDS di Aceh sampai 30 Juni 2014 adalah 344 yang terdiri atas 151 HIV dan 193  AIDS. Angka ini menempatkan Aceh pada peringkat ke-27 dari 33 provinsi secara nasional.

Yang perlu dingat oleh Adhi adalah penyebaran HIV/AIDS adalah fenomena gunung es, sehingga kasus yang sebenarnya bisa saja jauh lebih besar. Selian itu Adhi juga harus paham bahwa kegiatan survailans tes HIV dan penyuluhan di Aceh sangat kecil sehingga penemuan kasus baru pun sangat kecil pula.

Video di Rumah

Dengan kasus kecil justru akan membawa bencana karena penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena banyang orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka terus menyebarkan HIV/AIDS.

Adhi juga menyebutkan di Banda Aceh tidak ada bioskop remang-remang. Tapi, Adhi lupa kalau video dan home teather di rumah bisa saja memuat film porno. Bahkan, loos dari pengawasan polisi syariah.

Sedangkan Ulong Alex mengatakan bahwa dia yakin peningkatan penderita HIV/AIDS di Banda Aceh dan Propinsi Aceh umumnya disebabkan karena perilaku seks bebas, suka gonta-ganti pasangan, dan tidak setia pada satu pasangan.

Kalau seks bebas yang dimaksud Ulong adalah zina, maka semua orang yang pernah berzina sudah mengidap HIV/AIDS. Kalua ini yang dipakai sebagai patokan tentu saja jumlah HIV/AIDS di Aceh dan di dunia akan sangat besar karena tidak sedikit orang yang pernah berzina.

Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali sanggama. Ini fakta.

Disebutkan pula oleh Ulong: Selain itu, AIDS di Banda Aceh disebarkan para ekspatriat (pekerja asing -red), di mana pergaulannya berbeda dengan masyarakat Aceh biasanya. Ada lagi M Joharis Lubis yang juga mengatakan bahwa  setelah terkena bencana gempa dan tsunami, semua mengalami pergeseran di Aceh, baik itu ekonomi, politik, moral, sosial, dan budaya. Semua hal masuk ke Aceh dengan dalih kemanusiaan.

Astaga, ini benar karena, (a) Pekerja asing banyak yang peduli terhadap HIV/AIDS, (b) sebelum tsunami kegiatan penanggulangan AIDS di Aceh sangat rendah, (c) Fasilitas tes HIV di Aceh sebelum tsunami tidak ada, dll. Maka, setelah tsunami penanggulangan digalakkan dan sarana tes HIV pun dibangun sehingga banyak kasus baru yang terdeteksi. Ketika tidak ada penanggulangan dan sarana tes HIV, pasien-pasien di rumah sakit yang mengidap penyakit yang bisa terkait dengan HIV/AIDS tidak dilakukan tes HIV sehingga tidak terdeteksi penyebab kematian mereka.

Infeksi HIV di Darah

Pernyataan Ulong ini membantah pendapat dia, Praja, Adhi dan Intan: "Selain itu, kebiasaan masyarakat Aceh yang pergi ke Kota Medan dan bergaulan dengan sembarangan orang, turut juga berperan meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS di kalangan warga Aceh. ...."

Bukan bergaul sembarangan, tapi melakukan hubungan seksual dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK). Ada kabar di Kota Medan ada hotel yang memberikan potongan harga (discount) besar kepada laki-laki pemegang KTP Aceh. Kabarnya, di hotel itu tersedia cewek yang bisa diajak melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang.

Laki-laki dewasa penduduk Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Medan adalah perilaku berisiko tinggi tertulat HIV/AIDS jika mereka tidak memakai kondom. Maka, laki-laki yang tertular HIV/AIDS di Kota Medan akan menyebarn HIV/AIDS di Aceh kepada istrinya atau pasangan lain. Kalau istrinya lebih dari satu, maka perempuan Aceh yang berisiko tertula HIV pun kian besar.

Pemahaman yang sangat rendah terhadap HIV/AIDS menjadi salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Lihat saja pernyataan Rini R Sari ini. Rini mengatakan bahwa selama ini sering dikenal sebagai penyakit yang bersarang di kelamin, akhirnya memunculkan komentar sinis.

HIV/AIDS yang menular al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah justru infeksinya tidak terjadi di alat kelamin, tapi di darah. Ini sama dengan virus hepatitis B yang penularannya persis sama dengan HIV/AIDS infeksinya juga terjadi di darah.

Rini juga mengatakan bahwa dengan jumlah angka (penderita HIV/AIDS -red) yang terus meningkat, tentu kita patut bertanya-tanya, apa saja kerja Dinas Kesehatan dan pihak terkait dalam upaya mengatasinya?

Jumlah kasus yang terdeteksi menunjukkan ada kegiatan penanggulangan. Persoalannya asdalah kalau hanya mencari kasus itu artinya penanggulangan di hilir. Dinas Kesehatan menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru dideteksi.

Yang diperlukan adalah penanggulangandi hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, di Aceh tidak bisa dideteksi praktek pelacuran, sedangkan laki-laki Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Medan juga tidak bisa diintervensi.

Menurut Rini pencegahan dimulai dari yang sederhana, sampai yang ekstrim, dan tak lupa menutup tempat tempat yang berpotensi HIV/AIDS.

Tidak ada tempat yang berpotensi HIV/AIDS karena HIV ada di dalam darah orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. Merekalah yang menyebarkan HIV/AIDS tanpa mereka sadari karena tidak ada gejala, tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun