Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menunggu Langkah Konkret Presiden Jokowi Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia

10 Januari 2015   22:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:24 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420898863208953329

[caption id="attachment_389890" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)"][/caption]

Sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS ada di Indonesia berdasarkan kasus kematian wisatawan Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.

Dengan jumlah kasus kumulatif  HIV/AIDS 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian per 30 September 2014 seperti yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17 Oktober 2014 menunjukkan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah terus terjadi.

Bukti bahwa insiden infeksi HIV terus terjadi dapat dilihat dari kasus penemuan ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ibu-ibu rumah tangga tsb. tertular dari suaminya yang al. tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Indonesia dan di luar negeri.

Yang lebih celaka lagi adalah kasus yang dilapoirkan Kemenkes RI tsb. (), tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan atau terdeteksi, dalam hal ini 206.084, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan air laut.

Itu artinya ada penduduk dewasa dewasa, laki-laki dan perempuan, di masyarakat yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena mereka tidak menyadari sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik mereka. Bahkan, tidak ada pula keluhan penyakit yang khas terkait dengan HIV/AIDS.

Akibatnya, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka pun menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Banyak “pintu masuk” HIV/AIDS, tertutama melalui hubungan seksual, ke masyarakat Indonesia, tapi hanya beberapa yang bisa ditanggulangi secara konkret.

“Pintu masuk” tsb. rancu karena informasi HIV/AIDS selama ini selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta HIV/AIDS. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan) yang salah terhadap HIV/AIDS.

Dengan menetapkan turis bule seorang gay yang mati di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sebagai kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia (1987) saja pemerintah sudah menyuburkan mitos, yaitu:

(a) HIV/AIDS adalah penyakit gay,

(b) HIV/AIDS adalah penyakit bule, dan

(c) HIV/AIDS ada di luar negeri.

Tiga hal itu berkembang terus sampai sekarang sehingga tetap jadi pegangan di banyak orang. Kondisinya kian runyam karena muncul pula pernyataan pejabat, bahkan dari lingkungan departemen kesehatan, bahwa:

(d) HIV/AIDS menular karena zina,

(e) HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran,

(f) HIV/AIDS meneluar melalui perselingkuhan

(g) HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah,

(h) HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resmi,

(i) HIV/AIDS menuilar melalui homoseksual,

(j) HIV/AIDS menlar melalui hubungan seksual pranikah, dst.

Mitos-mitos tsb. mencelakai banyak orang, misalnya, seorang laki-laki merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena dia melakukan hubungan seksual bukan di lokalisasi pelacuran, bukan dengan PSK, dll.

Yang paling merusak akal sehat dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah penggunaan jargon “seks bebas” sebagai penyebab HIV/AIDS. Sampai hari ini dalam berbagai kesempatan dan pemberitaan jargon “seks bebas” tetap dijadikan “ikon” penyebab HIV/AIDS.

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “seks bebas”, tapi jika diamati yang disebut “seks bebas” adalah berizina dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Nah, ini juga mencelakakan karena banyak orang yang merasa tidak melakukan “seks bebas” karena mereka tidak berzina dengan pelacur (PSK).

Sejak awal epidemi tanggapan pemerintah hanya sebatas reaktif dengan pernyataan moralistis dengan (hanya) mengajak masyarakat menjauhi “seks bebas”.

Maka, amatlah wajar kalau kemudian insiden infeksi HIV/AIDS baru terus terjadi yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena banyak laki-laki yang merasa tidak melakukan “seks bebas”.

Selama “pintu masuk” HIV/AIDS tidak ditangani, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi karena setiap saat terjadi insiden infeksi HIV baru, al. pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual yang bukan “seks bebas” yaitu dengan cewek panggilan, ayam kampus, ABG, cewek kafe, cewek pub, cewek gratifikasi seks, dll. di hotel berbintang atau apartemen mewah.

Jika pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla “pintu masuk” HIV/AIDS tidak diintervensi dengan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun