Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cinta yang Mengalahkan AIDS

14 Januari 2012   00:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

* Kenangan untuk Tina yang kini di alam sana ....

Jakarta, 16/6-2002. Epidemi HIV sudah menyentuh semua lapisan masyarakat. Secara global kasus kumulatif HIV/AIDS sampai akhir 1999 sudah mencapai 34,3 juta. Sedangkan di Indonesia sampai 30 September 2001 sudah mencapai 2.313. Bagaimanapun, epidemi HIV akan bersinggungan dengan hubungan antar manusia yang sangat pribadi.

Ketika epidemi HIV dipublikasikan di Amerika Serikat pada tahun 1981 masyarakat dunia masih adem-ayem karena banyak yang belum terkait langsung dengan AIDS. Apalagi, ketika itu kasus-kasus awal AIDS dideteksi di kalangan pria gay.

Banyak orang yang tidak peduli. Tetapi, ketika infeksi HIV ditemukan di kalangan pekerja seks wanita masyarakat mulai panik. Soalnya, maaf, siapa tahu pacar atau suami tercinta pernah bermain cinta dengan pekerja seks. Sebagai virus, ketika itu penularan HIV sudah diketahui antara lain melalui hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom).

Lambat laun epidemi HIV muncul juga di negeri ini. Catatan resmi pemerintah menyebutkan kasus pertama AIDS ditemukan pada seorang turis asing di Bali (1987). Masyarakat mulai menyadari AIDS sudah ada di Indonesia. Apalagi setahun kemudian seorang warga negara Indonesia juga meninggal karena AIDS. Kasus-kasus berikutnya diidentifikasi di kalangan pekerja seks wanita. Berbagai tanggapan dan komentar yang muncul pun akhirnya bermuara kepada stigma (cap negatif) terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Odha). Mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS, seperti AIDS penyakit bule, AIDS ada di lokalisasi pelacuran, dll. pun tumbuh subur sehingga banyak orang yang mengabaikan HIV sebagai fakta medis.

Di tengah galau dan hiruk-pikuk stigma terhadap Odha nun di sebuah kota di belahan timur Nusantara ada sepasang anak manusia, sebut saja Tono dan Tina, memadu asmara. Tono tahu persis kalau pacarnya, seorang mantan pekeja seks, didiagnosis HIV-positif. Bahkan, benih cinta mereka bersemi di pusat rehabilitasi sosial di kota itu.

Sebagaimana layaknya cerita roman ternyata cinta bisa mengalahkan segalanya. Stigma dan mitos tentang HIV/AIDS sama sekali tidak membuat pasangan yang dilanda asmara ini untuk mengurungkan niat mereka membentuk mahligai rumah tangga. Tono dan Tini pun sepakat untuk melanjutkan asmara mereka ke pelaminan.

Ketika rencana mereka untuk menikah dipublikasikan media massa banyak kalangan yang kalang kabut. Mulai dari aparat pemda, pakar hukum sampai tokoh agama. Semua memberikan pendapat dan komentar yang terkadang tidak objektif. Persiapan pernikahan mereka terus berjalan.Tono dan Tini sudah bersikukuh untuk tetap menikah yang merupakan perwujudan cinta mereka.

Orang-orang yang buka mulut itu rupanya tidak tahu kalau Tono dan Tini sudah lama mendapat konseling dari sebuah LSM di sana tentang HIV/AIDS sehingga pasangan ini pun tahu persis risiko yang akan timbul dan cara pencegahannya. Mereka sudah mengetahui tidak akan bisa mempunyai belahan hati karena kalau Tini hamil maka ada kemungkinan janinnya tertular HIV. Tono pun tahu persis kalau suatu saat Tini akan menunjukkan gejala-gejala penyakit yang terkait dengan AIDS. Inilah yang mereka dapatkan dari konseling selama empat bulan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk mengikat janji di depan tuan kadi.

Pernikahan mereka agak terhambat bahkan nyaris gagal karena KUA (Kantor Urusan Agama) setempat enggan menikahkan pasangan ini. Padahal, dalam UU Perkawinan tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan pasangan HIV tidak boleh menikah. Berkat dukungan LSM Tono dan Tini pun mengikat janji sehidup semati (1997). Rupanya, niat mulia mereka dihadang orang-orang yang berpandangan sempit dan hanya melihat HIV/AIDS dari sisi yang tidak akurat.

Syukurlah, jalan yang mereka pilih untuk menghindarkan diri dari perzinaan itu akhirnya dikukuhkan oleh KUA setempat. Ketika hendak menikah yang mereka persiapkan adalah kondom karena benda itulah yang dapat merekatkan cinta mereka mengarungi bahtera rumah tangga. LSM yang mendampingi pasangan ini sudah membelaki mereka dengan persediaan kondom yang lebih dari cukup. Inilah yang tidak diketahui oleh pakar dan tokoh agama di sana ketika rencana mereka untuk menikah menjadi berita utama di media massa nasional.

Pasangan Tini dan Tono terus-menerus dipantau oleh dr. Syabir Siwu, psikiater di Makassar, Sulawesi Selatan. Setiap priode darah pasangan itu dites. Syukurlah. Sudah empat tahun lebih mereka menikah Tono tetap HIV-negatif. Ini menunjukkan mereka tetap memakai kondom ketika melakukan hubungan suami-istri yang merupakan bagian dari cinta kasih mereka. Ini lagi-lagi membuktikan HIV pencegahan HIV dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis.

Perjalanan hidup pasangan ini rupanya tidak mulus. Pendudukdi sekitar rumah kontrakan mereka rupanya curiga melihat Tini yang sering memakai T-shirt yang ada tulisan AIDS. Ada penduduk yang membanding-bandingkan wajah Tini dengan foto pernikahan mereka yang dimuat oleh media cetak setempat. Celaka. Wajah Tini sama seperti foto pengantin itu. Pasangan ini pun diusir. Padahal, Tini sangat bangga memakai kaos itu karena kaos itu merupakan kenang-kenangan dari Bali ketika dia diundang mengikuti pertemuan Odha. Namun, kaos itu pula yang membawa malapetaka.

Setelah mendapat kontrakan baru hati pasangan ini lega dan mereka memulai hidup baru. Tetapi, lagi-lagi ketengangan mereka terusik karena ada pula tetangga yang yakin Tini adalah pasangan Odha yang menikah. Pasangan ini pun kembali diusir. Rupanya, masyarakat selama ini menerima informasi yang keliru tentang HIV/AIDS. Jangankan bergaul bertetangga pun masyarakat tidak rela. Padahal, sudah terbukti selama empat tahun lebih sebagai suami-istri pun tidak terjadi penularan selama cara-cara pencegahan diterapkan dengan benar.

Kalau pasangan itu tetap konsisten memakai kondom ketika melakukan hubungan seks maka risiko penularan HIV dari Tini ke Tono pun dapat ditekan. Api asmara mereka tetap menyala-nyala yang diwujudkan dengan hubungan seks walaupun salah satu dari pasangan itu HIV-positif. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun