Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Diancam Dipecat sebagai PNS Karena Tidak Memilih Parpol Tertentu di Masa Orde Baru

14 Februari 2024   10:39 Diperbarui: 14 Februari 2024   10:46 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Simpatisan OPP pemilu naik ke patung Merdeka di Surabaya, Jatim, pasang gambar kampanye (2/4/1987). (Sumber: KOMPAS/AW SUBARKAH)

"Saya mau dipecat." Itulah inti surat (alm) ayah saya dari kampung nun sekitar 420 km di arah Barat Daya Kota Medan di Sumatera Utara (Sumut).

Surat itu tiba-tiba teringat kembali ketika saya menunggu giliran dianggil untuk mencoblos di sebuah TPS di bilangan Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur, pada Pemilu serentak 2024 (14/2/2024) di pagi hari ketika gerimis masih membasahi bumi.

Ada apa? Kenapa sampai (alm) ayah saya mau dipecat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sekarang lebih dikenal sebagai aparatur sipil negara (ASN), di sebuah instansi di kampung, waktu itu ibu kota salah satu kabupaten kini jadi kota madya?

Rupanya, Alm tidak memilih salah satu peserta Pemilu, yang 'diwajibkan' untuk dipilih oleh semua PNS, di salah satu Pemilu di bawah rezim Orde Baru (Orba).

Pertanyaan lain muncul di benak saya: Mengapa dan bagaimana petugas mengetahui kalau (alm) ayah saya tidak memilih peserta Pemilu tersebut?


Ketika itu saya ada di Pulau Jawa. Saya mencoba mencari tahu bagaimana petugas di tempat pemungutan suara (TPS) itu mengetahui surat suara yang diberikan ke (alm) ayah saya tidak memilih peserta yang diwajibkan.

Informasi yang saya dapatkan kemudian mengarah kepada pembuatan atau penulisan kode tertentu di surat suara yang memungkinkan surat suara itu diketahui dengan pasti milik siapa.

Astaga .... Almarhum ketika itu posisinya di kantor bak telur di ujung tanduk.

Duh, piyung ....

Saya merenung dan berpikir tentang upaya untuk membatalkan rencana pemecatan. Syukurlah ada ide yang muncul.

Saya anjurkan kepada Almarhum menjumpai petugas yang 'mengancamnya' dengan permintaan agar di surat pemecatan kelak ditulis alasannya dengan tegas: "Dipecat dengan tidak hormat karena tidak memilih ..... "

Syukur lagi karena surat berikutnya membawa berita baik yaitu Almarhum tidak jadi dipecat.

Kalaupun instansi tetap memecat Almarhum dengan menyebut alasan yang tegas, maka surat pemecatan itu bisa jadi 'barang berharga' sebagai bukti kebiadaban politik.

Sedangkan di Pemilu lain, masih era Orba, saya 'diusir' paman dari sebuah kampung di wilayah Tapanuli bagian selatan karena memberikan pencerahan kepada warga tentang kebebasan memilih.

Rupanya, setelah mendengar obrolan saya di kedai kopi warga tidak lagi takut untuk tidak memilih partai yang diwajibkan untuk dipilih. Tentu saja hal itu bisa mempengaruhi jabatan aparat di desa itu.

Jika saya tarik ke kondisi Pemilu dan pemilihan presiden (Pilpres) yang secara langsung di masa reformasi atau sejak tahun 1999 tidak ada lagi 'ketakutan' terkait dengan pilihan politik.

Celakanya, tidak sedikit orang yang sudah berkoar-koar terjadi kecurangan jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara. Ini tentu saja menyesatkan karena secara empiris kecurangan bisa dibuktikan setelah kejadian, dalam hal setelah pencoblosan dan penghitungan suara.

Soal 'serangan fajar' yang memberikan imbalan materi sekarang tidak bisa lagi dilakukan dengan pembuktian karena Ponsel atau HP tidak boleh dibawa ke bilik suara. Selain itu bilik suara sekarang juga sekarang tidak tertutup lagi hanya tertutup di bagian pencoblosan saja.

Maka, sehebat apapun imbauan, permintaan bahkan tekanan untuk memilih partai politik (Parpol), calon anggota legislatif (Caleg) dan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Paslon Capres/Cawapres) tidak akan bisa karena tidak ada lagi cara untuk melihat pilihan yang dicoblos pemilih.

Lagi pula, apakah saya akan memilih atau mencoblos "X" di bilik suara jika saya selalu menyebu "X" dalam berbagai kegiatan?

Tentu saja tidak!

Itu artinya orang-orang yang selalu menyebar isu negatif yang menjurus ke fitnah terkait dengan netralitas hanya karena 'parno' saja. Paranoid yang dibangun dengan pola pikir negatif dan kecurigaan yang berlebihan yang justru menjurus kepada hal-hal yang bersifat iranional [KBBI: tidak berdasarkan akal (penalaran) yang sehat].

Setiap Pemilu dan Pilpres di masa reformasi selalu muncul protes yang berlebihan yang justru tanpa bukti yang bisa dipakai sebagai alat bukti di pengadilan.

Yang paling mengganggu (kelak) adalah kalau ada yang kalah lalu membawa-bawa istilah yang terkait dengan agama.

Hal itu bisa merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara karena mendorong perpecahan di negeri yang mengedepakan 'Bineka Tunggal Ika' ini. * 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun