Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Kasus HIV/AIDS Meningkat di Kabupaten Tasikmalaya

25 Agustus 2022   08:58 Diperbarui: 25 Agustus 2022   09:01 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: harborlighthospice com)

Mengait-ngaitkan agama dengan penularan HIV/AIDS hanya akan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) karena tidak semua penularan HIV/AIDS terkait dengan perbuatan melawan agama

"Kenaikan angka penderita HIV AIDS ini pun cukup mengagetkan warga Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat-pen.). Warga tidak menyangka, Kabupaten Tasikmalaya yang religius islami malah mengalami angka HIV AIDS cukup banyak." Ini ada dalam berita "Ironis, Usung Visi Religius Islami, Angka Penderita HIV AIDS di Kabupaten Tasikmalaya Meningkat Dua Kali Lipat" di kabarpriangan.pikiran-rakyat.com (10/8-2022).

Pertama, idak ada kaitan antara visi religious Islami dengan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS tidak selamanya terkait dengan perbuatan yang melawan agama. Bisa transfusi darah, jarum suntik dan alat-alat medis, serta dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Kedua, dalam ikatan pernikahan yang sah sekalipun bisa terjadi penularan HIV/AIDS jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS.

Misalnya, melalui perkawinan yang berganti-ganti dan mempunyai istri lebih dari satu. Soalnya, bisa saja salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS sehingga hubungan seksual suami-istri berisiko terjadi penularan HIV/AIDS.


Dalam berita disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Tasikmalaya mencapai 506.

Nah, informasi yang akuratlah yang perlu disampaikan ke masyarakat dan tidak dibalut dan dibumbui dengan agama karena informasi HIV/AIDS yang dibalut dengan agama hanya menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Di beberapa tempat di Indonesia ada kalangan yang memanfaatkan 'aturan agama' tentang pernikahan dalam menjual seks. Pasangan yang akan melakukan hubungan seksual melakukan 'nikah mut'ah.' Tapi, ini jelas tidak bisa menghambat penularan HIV/AIDS karena penulaan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matrik sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Dalam berita ada pernyataan: Dirinya (tokoh pemuda Kecamatan Tanjungjaya, Asep Zamzam-pen.) meminta agar pemerintah gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya HIV AIDS.

Secara empiris pemerintah tidak bisa menghentikan penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui perilaku seksual berisiko, karena semua terjadi di ranah privat.

Coba simak perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS ini, apakah ada yang bisa dijangkau oleh pemerintah?

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Jelas tidak ada!

Maka, kuncinya ada di masyarakat. Persoalannya adalah: selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Seperti di judul berita ini. Tidak kaitan religious dengan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual karena penularan HIV/AIDS tidak semua karena perbuatan yang melawan atauran agama dan bisa pula terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah.

Salah satu perilaku seksual berisiko yang bisa dijangkau adalah pada pelacuran yang melibatkan PSK langsung (perilaku nomor 2) yaitu meminta agar laki-laki selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Tapi, program ini hanya bisa dijalankan jika praktek pelacuran dilokalisir (Lihat matriks perilaku yang tidak bisa dijangkau).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial yang membuat transaksi seks dengan cewek prostitusi online dilakukan melalui ponsel dengan eksukusi di sembarang waktu dan sembarang tempat. Maka, ini jadi pintu masuk HIV/AIDS yang tidak bisa dijangkau.

Empat perilaku seksual berisiko di atas jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Kabupaten Tasikmalaya, maka untuk menghentikan kasus baru apakah Pemkab Tasikmalaya bisa menjangkau empat perilaku seksual berisiko itu?

Di bagian lain ada pernyataan ini: Dikatakan Sony (Pengelola Program KPA Kabupaten Tasikmalaya, Sony Syarip Hanani-pen.), komitmen untuk terus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kasus HIV AIDS terus digencarkan. Sehingga pada tahun 2030 nanti, Indonesia benar-benar akhir dari epidemi kasus HIV AIDS.

Pernyataan 'pada tahun 2030 nanti, Indonesia benar-benar akhir dari epidemi kasus HIV AIDS' hanyalah utopia [KBBI: sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan] atau mimpi di siang bolong.

Baca juga: Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS

Pertanyaan untuk Sony, apakah pemerintah untuk menghentikan empat perilaku seksual berisiko di atas?

Tentu saja tidak bisa! Maka, Indonesia bebas HIV/AIDS 2030 hanya khayalan belaka. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun