Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bali Tolak Usul Wisata Halal ala Sandiaga

26 Februari 2019   13:19 Diperbarui: 27 Februari 2019   10:10 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Wisatawan mancanegara di Pantai Kuta, Badung, Bali, (Sumber: kompas.com/roderick adrian mozes).

Bagi orang Bali yang hidup aman dan tenteram, tapi dengan pernyataan Cawapres Nomor Urut 2 Sandiaga Uno justru membuat warga "Pulau Dewata" itu gempar bak disambar petir di siang bolong.

Maklum, Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno ingin Bali mengembangkan pariwisata halal. Menurut Sandiaga, banyak pasar wisatawan asing untuk pariwisata halal di Pulau Dewata.

Tidak kurang dari Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Anak Agung Yuniartha, yang menolak mentah-mentah usul Sandi itu. "Ya nggak mungkinlah, kita sudah mengiklankan sebagai pariwisata budaya sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2012," kata Yuniartha.

Pertama, Cawapres Sandi rupanya tidak paham dengan otonomi daerah (Otda) yang sudah dijalankan sejak tahun 1999. Itu artinya pemerintah, dalam hal ini presiden dan menteri, tidak punya wewenang mengatur pariwisata sebuah daerah karena yang diatur oleh pemerintah (pusat) sejak Otda hanya moneter, luar negeri dan hamkam.

Kedua, Pemprov Bali sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang disahkan tanggal 15 Maret 2012.

Dalam Perda ini jelas disebutkan pada Pasal 3 ayat a: Kepariwisataan budaya Bali bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu.

Dengan mengubah arah pariwisata Bali itu artinya mematikan Bali sebagai daerah tujuan wisata (DTW) kelas dunia karena wisatawan mancanegara (Wisman) akan membatalkan niat berlibur ke Bali. Masih kental dalam ingatan Raja Arab Saudi, Raja Salman pun memilih Bali sebagai tempat berlibur bahkan memperpanjang liburannya (Maret 2017). Mengapa Raja Salman tidak berlibur di DTW halal?

Kalau soal makanan halal sudah banyak negara yang menjalankannya. Pengalaman penulis ketika mengikuti sebuah pelatihan terkait HIV/AIDS di Pattaya, Thailand (2004), saya dan beberapa peserta yang beragama Islam, al. dari Malaysia, ditempatkan di satu meja dan dijaga oleh 4 karyawan hotel.

"Untuk apa kalian menjaga kami?"

"Agar Tuan tidak salah ambil makanan," kata salah seorang karyawan hotel berbintang 4 itu. Mereka mengikuti ke meja-meja tempat makanan dan memberikan pilihan makanan halal. Menurut Yuniartha di Bali sudah lama dikembangkan warung dan restoran yang menyediakan makanan halal.

Nah, itu jelas konteksnya. Tidak sembarang mengatakan wisata halal. Dengan menerapkan wisata halal tentulah berbagai aspek akan diatur dengan hukum syariah. Maka, Pantai Kuta pun tinggal pasir karena Wisman tidak lagi bisa berjemur dengan hanya memakai cawat dan kutang.

Padahal, Wisman dari Eropa Barat, Australia dan Amerika memanfaatkan Pantai Kuta untuk berjemur, kalau boleh bugil, tapi mereka tetap memakai pakaian ala kadarnya yaitu kutang dan cawat.

Begitu juga dengan 10 DTW baru yang dikembangkan pemerintah, ada kekhawatiran akan diatur dengan perda moral yang ujung-ujungnya mematikan DTW yang baru mulai mekar itu.

[Baca juga: Wisata Danau Toba, Semoga Tidak (Pernah) Diatur dengan Perda Bermuatan Moral]

"Aduh, Pak, kami hanya mengandalkan wisatawan nusantara (Wisnus-pen.)," keluh seorang perajin barang-barang souvenir di dekat sebuah mal di Kota Mataram. Kegiatan di kota itu sepi di malam hari karena wisman memilih menghabiskan liburan di Senggigi, pantai arah utara Kota Mataram.

Di Senggigi suasana persis seperti di Pantai Kuta. Mengapa Wisman memilih langsung ke Senggigi setelah menyebarang dengan feri dari Padang Bai (Bali) ke Pelabuhan Lembar (Lombok) dan dari Bandara Lombok?

Rupanya, di Kota Mataram dengan julukan "Kota Seribu Masjid" ada aturan yang melarang Wisman hanya pakai cawat dan kutang di tempat umum.

Maka, mereka memilih Senggigi. Akibatnya, ternyata friksi sosial karena daerah itu dikuasai kalangan tertentu sehingga perajin lokal kelabakan.

Celakanya, isu agama pun dipakai al. dengan melarang pendirian tempat ibadah di Senggigi. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun