Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Asia, 14 Persen Obat-obatan Ditemukan Telah Kedaluwarsa dan Palsu

7 September 2018   05:10 Diperbarui: 9 September 2018   09:08 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pharmamicroresources.com)

Laporan "Reuters" seperti dikutip "VOA Indonesia" (Satu dari 8 Obat Penting Kemungkinan Palsu, 5/9-2018) menyebutkan bahwa hasil sebuah riset menunjukkan kemungkinan 1 dari 8 obat penting (esensial) yang beredar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kemungkinan palsu atau mengandung bahan-bahan berbahaya.

Hasil riset ini jadi penting bagi masyarakat karena Indonesia termasuk dalam kategori riset tersebut, yaitu negara berpenghasian rendah atau menengah. Polri sendiri pernah membongkar "pabrik" jamu dan obat palsu di Jakarta Timur dengan omset 3 miliar rupiah per bulan (m.metrotvnews.com, 29/10-2016). Obat-obat yang dipalsukan antara lain adalah obat-obat yang laris, terutama antibiotik, daftar G yang dijual bebas di toko obat dan sebagian besar apotek.

Penjualan obat daftar G (harus pakai resep dokter) secara bebas, khususnya antibiotik, akan berdampak buruk terhadap kesehatan karena bisa terjadi resistensi terhadap antibiotik sehingga infeksi karena kuman atau bakteri pun bisa mematikan 

[Baca juga: Resistensi Antibiotik, Kelak Infeksi Bakteri Pun Bisa Jadi Penyebab Kematian]

Peneliti yang melakukan riset obat-obatan tersebut memeriksa lebih dari 350 penelitian yang menguji 400.000 ribu sampel obat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Hasilnya?

Hampir 14 persen dari sampel yang diuji merupakan obat tiruan, yang kedaluwarsa atau berkualitas rendah. Itu artinya obat-obatan itu tidak seaman dan memiliki dampak fektif yang diharapkan oleh para pasien. Secara keseluruhan, sekitar 19 persen obat anti-malaria dan 12 persen antibiotik dipalsukan atau tidak aman dikonsumsi.

Penelitian terkait dengan obat palsu atau obat yang tidak aman dilakujkan di Afrika. Dalam laporan peneliti di JAMA Network Open , dari 5 obat yang diuji di Afrika, 1 di antarnya adalah obat palsu atau berpotensi tidak aman dipakai.

Penelitian lain dilakukan di Asia yaitu sepertiga dari keseluruhan penelitian. Peneliti menemukan sekitar 14 persen obat-obatan di yang beredar di Asia sudah tidak aman dikonsumsi atau palsu.

Selain tidak aman obat palsu juga ada yang hanya terbuat atau berisi tepung dan vitamin. Hal ini membuat warga yang membeli obat tiruan atau palsu tersebut akan mengalami masalah kesehatan karena obat-obat yang mereka minum sama sekali tidak berguna. Ini terjadi karena obat itu hanya terbuat atau berisi tepung,

Penulis utama studi mengenai obat-obatang tersebut, Sachiko Ozawa dari Universitas California Utara di Chapel Hill, AS mengatakan obat-obat berkualitas rendah hanya memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak mengandung bahan aktif yang justru bisa memperpanjang waktu penyembuhan penyakit, kesalahan perawatan dan menyebabkan resistensi obat.

Lebih lanjut Ozawa mengatakan ada kemungkinan obat palsu tersebut mempunyai efek yang berlebih sehingga menyebabkan overdosis. "Jika obat tersebut terkontaminasi atau memiliki bahan aktif, obat tersebut bisa meracuni, menimbulkan dampak buruk interaksi obat atau kematian yang sebenarnya dapat dihindari," kata Ozawa.

Penelitian memang belum menyentuh jumlah korban akibat obat palsu dan obat kedaluwarsa. Yang diperkirakan peneliti adalah kerugian akibat pemalsuan obatan-obatan penting itu ada pada kisaran 10 sampai 200 miliar dolar AS. Selain itu peneliti juga tidak melakukan pengujian terhadap obat-obatan yang beredar di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Tapi, Ozawa khawatir di negara-negara berpenghasilan tinggi pun bisa terjadi warga membeli obat palsu, seperti yang ditawarkan melalui sumber-sumber online yang tidak terdaftar dengan harga murah.

Di Indonesia juga warga sering terkecoh dengan "harga miring" obat-obatan mahal. Misalnya, di apotek harga resmi Rp 290.000 per papan, di pasar bebas dijual Rp 70.000. Dengan perbedaan harga ini warga diharapkan bisa berpikir jernih dengan mencurigai obat yang dijual dengan harga sangat murah. Perbedaan margin harga yang sangat besar tentu bukan hanya sekedar karena beda tempat penjualan yaitu antara apotek, tokok obat atau penjual obat K-5.

Ozawa berpesan agar sebelum membeli obat "murah" lakukan dulu verifikasi. Ini bukan hal yang mudah membedakan obat asli dan obat palsu. Apalagi bagi banyak warga dengan penghasilan rendah yang memerlukan obat tentulah akan mencari harga yang murah karena mereka tidak mampu membeli obat di apotek berizin resmi.

Maka, diharapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Polri aktif melakukan razia tertutup dan terbuka agar peredaran obat palsu bisa ditekan sehingga tidak merugikan masyarakat luas.

Tentu saja partisipasi aktif masyarakat juga diharapkan, misalnya dengan melaporkan harga miring dan kecurigaan manfaat obat. Untuk itu BPOM dan Polri perlu membuka hotline pengaduan obat-obatan palsu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun