Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Resistensi Antibiotik Kelak Infeksi Bakteripun Bisa Jadi Penyebab Kematian

18 Februari 2018   11:17 Diperbarui: 16 Mei 2023   13:57 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrsi – (Sumber: hopkinsmedicine.org)  

"Saya tidak bisa kasih antibiotik, ya, Pak." Ini dikatakan seorang dokter di sebuah klinik di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur. Waktu itu penulis berobat karena batuk. Dokter hanya memberikan obat pereda batuk, obat antiradang dan pengencer dahak dalam bentuk tablet.

Rupanya, ada saja yang membeli obat antibiotik di pasar bebas. Orang-orang itu mendiagnosis sendiri penyakitnya dan mencari tahu obatnya. Ada yang berselancar di Internet ada pula yang bertanya ke pedagang obat tentang obat gejala penyakit yang dikeluhkan.

Ketika darah tinggi terdeteksi, dokter yang memeriksa mengingatkan: "Pak, ingat. Jangan sekali-kali beli obat sendiri," kata Bu Dokter di bilangan Jalan Gading Raya, Pisangan Timur, Jakarta Timur. Anjuran Bu Dokter itu saya pegang dan jika ada gangguan kesehatan saya memilih ke dokter daripada mencari obat sendiri.

Dokter tadi tegas dengan tidak memberikan obat antibiotik dan memberikan opsi lain yaitu yang bukan antibiotik. Diagnosis dokter tadi menunjukkan radang dan simptom flu tidak harus 'dihabisi' dengan 'bom' antibiotik, tapi cukup dengan obat-obatan lain. Obat yang diberikan, untuk tiga hari, habis dan batuk pun reda.

Survei WHO (Badan Kesehatan PBB) Maret 2016-Juli 2017 terhadap 1,5 juta penduduk di 22 negara miskin dan kaya menunjukkan resitensi terhadap obat antibiotik ada pada tingkat yang mengkhawatirkan (Peningkatan Resistansi Antibiotik Ancam Kesehatan Masyarakat Dunia, VOA Indonesia, 16/2-2018).

Dari survei itu diperoleh data terkait dengan resistansi antimikroba di dunia yang berakhir pada peringatan karena bakter yang paling bisa pun dilaporkan sudah resisten pada tingkat 65-82 persen.

Ketika terjadi resistensi antibiotik, infeksi karena bakteri yang sebelumnya bisa disembuhkan dengan penicilin tidak bisa lagi disembuhkan dengan penicilin. Maka, ketika seseorang yang resisten antibiotik bakteri justru spontan melakukan mutasi gen sehingga komposisi bakteri berubah. Obat antibiotik pun tidak bisa lagi membunuh bakteri tsb. karena sudah melakukan mutasi gen (bbc.com/indonesia, 2/10-2017).

WHO menyebutkan bakteri yang sudah resistansi terhadap antibiotik yang paling sering dilaporkan al. infeksi bakteri e-coli (infeksi di usus besar yang menular melalui air dan makanan), infeksi bakteri staphylococcus (bakteri patogen oportunistik yang bisa menyebabkan beragam penyakit pada manusia dan hewan), pneumonia (penyakit infeksi paru yang bisa menyebabkan sesak napas) dan salmonella (infeksi di perut dan usus).

Dari aspek kesehatan masyarakat kondisi resistenti antibiotik mengancam kesehatan masyarakat (dunia). Untuk itulah WHO berharap semua negara membuat sistem pengamatan untuk mendeteksi resistansi obat.

Anjuran WHO ini bak gayung bersambut. Kenya meningkatkan sistem resistensi antimikroba dengan skala nasional, Tunisia mengumpulkan data resistansi obat secara nasional, dan Korea memperkuat sistem pengawasan obat antibiotik. Sedangkan di Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman dikabarkan pemerintah setempat sudah mengendalikan pemakaian obat antibiotika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun