Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan AIDS di Indonesia

9 Februari 2018   04:30 Diperbarui: 9 Februari 2018   04:45 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: antiaids.org)

Stigma

Pernyataan-pernyataan yang mengait-ngaitkan penularan HIV dengan LGBT akhirnya jadi ledakan kemarahan masyarakat bahkan sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar LGBT dipidana. Sekarang isu itu bergulir di DPR terkait dengan revisi KUHP (Kita Undang-undang Hukum Pidana). Masyarakat digiring media massa dan media online, belakangan media sosial juga ikut-ikutan, untuk membenci LGBT. Padahal, sebagai orientasi seksual LGBT adalah di alam pikiran sehingga tidak bisa dipidana (Baca juga: Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran).

Hiruk-pikuk tentang LGBT yang jadi korban adalah kaum waria karena dalam konteks LGBT hanya transgender (waria) yang kasat mata, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisik mereka (Baca juga: LGBT, Hanya Waria yang Kasat Mata).

Ilustrasi (Sumber: news965.com)
Ilustrasi (Sumber: news965.com)
Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS terus didorong melalui pernyataan-pernyataan yang tidak akurat. Seperti ini: Dokter Inong: Agar Tak Tertular HIV/AIDS, Jangan Berzina (hidayatullah.com, 14/1-2018). Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Beban fisik dan psikologis Odha (Orang dengan HIV/AIDS) pun kian berat karena di sarana kesehatan sendiri terjadi perlakuan yang diskriminatif yang justru dilakukan oleh kalangan medis. Ini tidak masuk akal karena mereka tahu persis cara-cara penularan dan pencegahan HIV.

Berita-berita yang mengandung mitos tidak mencerahkan masyarakat karena cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis tenggelam karena berita dibumbui dengan norma, moral dan agama. Penulis melakukan content analysis berita-berita di media massa nasional dari tahun 1987-2000. Hasilnya, banyak berita yang hanya berisi mitos sehingga menggelapkan fakta medis tentang HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Ilustrasi (Sumber: bukalapak.com)
Ilustrasi (Sumber: bukalapak.com)
"2017, 5 Kasus HIV di Payakumbuh Berasal dari LSL." Ini judul berita di harianhaluan.com (8/2-2018). Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan siapa saja LSL itu sehingga membingungkan. Dalam berita LSL disebutkan Lelaki Seks dengan Lelaki yang akhirnya menggiring opini ke kalangan gay padahal di sana ada biseksual dan waria.

Penanggulangan di Hilir

Penanggulangan HIV/AIDS yang bergulir di hilir yaitu tes HIV terhadap ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Ada suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menolak tes HIV. Akibatnya, suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penanggulangan dengan program tes HIV itu artinya ada pembiaran sehingga warga tertular HIV [Baca juga: Penanggulangan AIDS di Indonesia (Hanya) Dilakukan di Hilir dan Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand].

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksal tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Program yang dilakukan, seperti di Thailand dengan hasil yang memuaskan, adalah memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya intervensi tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun