Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand

26 Desember 2016   11:50 Diperbarui: 26 Desember 2016   12:10 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: HIV Dating Sites)

Tahun Depan Jatim Miliki Perda HIV/AIDS.” Ini adalah judul berita di skalanews.com (22/12-2016). Pernyataan pada judul berita ini benar-benar tidak masuk akal karena Pemprov Jawa Timur (Jatim) sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) seperti yang dimaksud di judul berita yaitu Perda No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur.

Pernyataan tsb. disampaikan oleh anggota Komisi E DPRD Jatim, dr Benyamin Kristianto. Disebutkan oleh anggota dewan ini bahwa "Perda ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan atas peringkat 2 tertinggi di Indonesia. Ini menjadi perhatian serius kami dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jatim." Memang, dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016, berdasarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS Jawa Timur ada di peringkat kedua secara nasional di bawah DKI Jakarta dengan jumlah kasus 44.006 yang terdiri atas 27.575 HIV dan 16.431 AIDS. Ini menyubang 15,1 persen terhadap kasus nasional dengan jumlah 291.465.

Kondom

Perda AIDS Jatim itu merupakan perda keempat di Indonesia setelah Kab Nabire, Meruke dan Jayapura. Celakanya, Perda No 5/2004 yang ketika itu dibuat oleh banyak daerah sebagai bagian dari ‘perlombaan’ menanggulangi HIV/AIDS yang berkaca ke Thailand dengan menelurkan Perda. Negeri “Gajah Putih” ini berhasil menahan laju insiden infeksi HIV baru berkat program ‘wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tapi, ada fakta yang diabaikan oleh pemerintah, terutama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, yang terlibat ‘perlombaan’ menelurkan Perda AIDS, yaitu:

(1) Aspek kondom dalam penanggulangan HIV/AIDS di Thailand merupakan nomor terakhir dari lima program penanggulangan dengan skala nasional di negeri itu. Itu artinya, penanggulangan HIV/AIDS yang mengedepankan kondom melalui Perda-perda AIDS di Indonesia adalah ‘mengekor ke ekor progrtam Thailand’.

(2) Program ‘wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK merupakan bentuk intervensi yang hanya bisa efektif jika praktek PSK dilokalisir dengan regulasi. Persoalannya, semua daerah di Indonesia menutup lokalisasi pelacuran yang semula ditangani oleh Kemensor (d/h. Depsos) sehingga program itu mustahil dijalankan di Indonesia dengan dukungan Perda sekalipun karena transaski seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(3) Banyak kalangan di Indonesia menolak sosialisasi dan pemakaian kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Di Papua, misalnya, ada pendeta yang dengan tegas mengatakan: Seks Yes, Kondom No.

“Dalam Perda AIDS Jatim (Perda No 5/2004 –pen.) itu pun tidak disebutkan cara-cara yang akurat dan realistis untuk mencegah penularan HIV. (Syaiful W. Harahap, Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim, Harian "Jawa Pos", Opini, 1 Desember 2008).

Catatan penulis sampai November 2016 di Indonesia sudah ada 96 perda yang diterbitkan pemerintah provinsi (21), kabupaten (53), dan kota (22), serta 4 pergub, 5 perbub dan 1 perwali. Tapi, semua perda ini hanya mengusung mitos karena pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan HIV dlam perda-perda ini dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Lihat saja Perda AIDS Prov Riau No 4/2006 yang menyebutkan cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’. Pertama, apa alat ukur ‘iman dan taqwa’? Kedua, siapa yang berhak mengukur ‘iman dan taqwa’ seseorang? Ketiga, bagaimana ukuran atau takaran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegahan penularan HIV?

Di Perda lain disebutkan mencegah HIV dengan tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah, tidak melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan yang sah, dll. Ini jelas mitos karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki=laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual) bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (zina, melacur, selingkuh, ‘seks bebas’, bukan dengan pasangan yang sah, dll.).

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Langkah yang mengekor dalam perda-perda AIDS adalah pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ada perbedaan yang sangat berarti  dengan Thailand yaitu: Perda-perda AIDS di Indonesia menghukum PSK jika ketahuan melayani laki-laki tanpa kondom. Ini tidak menyelesaikan masalah karena sudah ada, bahkan banyak, laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK tsb., dan germo pun dengan ringan tangan akan mendatang 10 atau 100 PSK ‘baru’.

Bandingkan dengan Thailand. Di sana yang kena sanksi adalah germo, mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Dengan cara ini tentu saja germo akan memaksa laki-laki memakai kondom agar usahanya tidak ditutup. Sedangkan di Indonesia germo justru memakasa PSK melayani laki-laki tanpa kondom karena setiap kali ada transaksi seks ada pula komisi besar dalam bentuk fulus.

Perilaku Berisiko

Kembali ke rencana DPRD Jatim untuk membuat perda. Yang jelas perda itu kelak tidak ada perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan  Perda No 5/2004. Perda-perda yang ada hanya bekerja di hilir, seperti anjuran tes HIV dan pemberikan obat antiretroviral (ARV). Itu artinya pemerintah membiarkan warga tertular HIV baru kemudian dianjurkan tes HIV dan kalau positif diberikan obat.

Tentu saja hal itu menyesatkan jika dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS karena yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Yang bisa dilakukan secara konkret hanya menurunkan atau mengurangi insiden infeksi HIV baru karena menghentikan penularan baru adalah mustahil. Coba simak fakta ini yaitu perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV:

(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti di Jatim atau di luar Jatim karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, di Jatim atau di luar Jatim, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Copy-Paste

Jelas pada poin 1, 2, 3, 4 dan 5 b tidak ada bentuk intervensi, seperti ‘progran wajib kondom 100 persen’, yang bisa dilakukan oleh pemerintah karena hal itu terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Yang bisa dilalukan intervensi berupa ‘progran wajib kondom 100 persen’ hanya pada poin 5 a yaitu PSK langsung yang ada di lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi. Tapi, hal ini mustahil karena Pemprov Jatim merupakan salah satu daerah yang sangat agresif dalam menutup lokasi pelacuran. Bahkan, ‘Gang Dolly’ yang fenomenal pun sudah ditutup sehingga tidak ada lagi transaksi seks secara terbuka.

Nah, pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Program apa kelak yang akan dijalankan untuk menanggulangi HIV/AIDS dalam perda yang akan dibuat DPRD Jatim itu?

Ini yang akan dilakukan: Sedangkan untuk pencegahan, sambung Benyamin, nantinya lebih memanfaatkan SKPD terkait untuk terjun langsung berinteraksi dengan masyarakat akan bahayanya HIV/AIDS. "Misalnya dinas sosial akan mensosialisasikan ke ibu-ibu PKK atau sejenisnya. Lalu disekolah-sekolah melalui Dispora ataupun melalui Badan Pemberdayaan Perempuan Jatim. Pokoknya bekerja maksimal pencegahan penyebaran HIV/AIDS di Jatim."

Bagaimana cara ibu-ibu PKK yang sudah menerima sosialisasi bahaya HIV/AIDS itu bisa masuk ke ranah pribadi suami agar suami tidak melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV?

Tentu saja hal yang mustahil.

Lagi pula, sosialisasi bahaya HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV di Indoneasia yaitu di akhir thaun 1980-an. Selain itu, dibutuhkan waktu yang lama agar perilaku berisiko seseorang  berubah sejak menerima sosialisasi. Dalam rentang waktu sejak menerima sosialisasi sampai terjadi perubahan bisa jadi ybs. sudah tertular HIV dan menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari.

Pernyataan ini benar-benar tidak masuk akal: . "Kalau pengobatan sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit dengan menyediakan ruang khusus.” Orang-orang yang terdeteksi HIV tidak otomatis minum obat dan dirawat.  Tidak pula diperlukan ruang khusus kecuali dengan penyakit menular, terutama TB. Terkait denga penyakit menular tanpa indikasi HIV pun ditempatkan di ruang khusus untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kita tunggu saja Perda AIDS Jatim yang baru tahun depan: Apakah benar-benar ada langkah konkret dalam mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS di hulu, atau Cuma sekedar copy-paste dari perda yang sudah ada. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun