Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Kiprah Perda AIDS Kota Palembang*

21 April 2011   11:40 Diperbarui: 23 Agustus 2022   10:37 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemkot Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) ikut-ikutan juga menelurkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS. Padahal, sudah ada beberapa kabupaten, kota dan provinsi yang membuat perda AIDS, tapi hasilnya nol besar karena materi perda tidak menyentuh persoalan yang sangat mendasar terkait dengan upaya mencegah penularan HIV. 

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Palembang tercatat 278. Sedangkan secara nasional sampai 30 September 2007 dilaporkan 16.288 kasus. Dalam Perda Kota Palembang No. 16 Tahun 2007 tentang Pecegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS tidak ada cara-cara pencegahan HIV yang akurat.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS yang diperlukan adalah upaya meningkatkan kesadaran penduduk agar bisa menimbang-nimbang dirinya apakah perilakunya berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Angka yang dilaporkan tidak menggambarkan realitas kasus di masyarakat karena banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang sistematis. 

Di Malaysia, misalnya, ada skrining rutin terhadap pasien klinik PMS, pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, donor darah, dan pasien TB sehingga kasus yang terdeteksi pun mendekati angka yang sebenarnya. Malaysia sudah melaporkan lebih dari 60.000 kasus HIV/AIDS.

Penularan HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau cirri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu penularan HIV sudah bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu/ASI.

Orang per Orang

Upaya mendorong setiap orang menimbang-nimbang perilakunya terkait dengan HIV dapat dilakukan dengan menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat dengan mengedepankan fakta medis. Selama ini materi KIE HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). 

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV pelacuran. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif. Sebaliknya, biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, seks menyimpang, seks pranikah, jajan, selingkuh, ‘seks bebas’, dan homoseksual tidak ada risiko penularan HIV kalau kedua pasangan yang melakukan hubungan seks tsb. HIV-negatif.

Tidak mengherankan kalau kemudian banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena dia merasa tidak melakukan hubungan seks dengan pelacur. Yang mereka lakukan adalah melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah. 

Mereka lakukan di luar lokalisasi pelacuran: di rumah, apartemen, taman, hotel, losmen, dll. Padahal, perilaku inilah (yaitu melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks) yang menempatkan seseorang pada posisi berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangannya HIV-positif.

Pada pasal 1 ayat 10 disebutkan “Pencegahan adalah serangkaian upaya bertujuan agar masyarakat luas tidak berjangkit virus HIV dan AIDS.” Di pasal 3 juga disebutkan “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari infeksi HIV dan AIDS ….” Di sini ada kerancuan. Pertama, yang menular adalah HIV (virus) bukan AIDS (bukan penyakit tapi kondisi pada diri seseorang yang sudah tertular HIV). Kedua, HIV tidak menulari masyarakat luas tapi orang per orang melalui cara-cara yang disebutkan di atas.

Dalam Perda tidak ditemukan cara-cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV. Di pasal 3 ayat a disebutkan: Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari infeksi HIV dan AIDS dengan Meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Ini adalah slogan yang bermuata moral. HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki), cairan vagina dan air susu ibu (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui.

Mencegah penularan HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka banyak orang yang tidak menegetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Penularan Disengaja

Di pasal 3 ayat e disebutkan: Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari infeksi HIV dan AIDS dengan Mengupayakan agar ODHA secara sukarela membuka diri agar proses penularan dapat dihentikan. Ini menyuburkan stigma (cap buruk) terhadap Odha karena mengesankan merekalah yang menyebarkan HIV. 

Faktanya Odha yang terdeteksi sepakat menghentikan penularan mulai dari dirinya. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV (HIV-positif) di masyarakat tapi tidak terdeteksi. Siapa saja mereka itu? Mereka itu adalah orang-orang yang sering melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di daerah, di luar daerah atau di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Memang, risiko penularan HIV melalui hubungan seks adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks dengan seseorang yang HIV-positif risiko tertular 1 kali. Tapi, tidak bisa diketahui pada hubungan seks yang keberapa penularan terjadi. Bisa pada hubungan seks yang pertama, kelima, kedua puluh, ketujuh puluh, dst. Maka, setiap hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti berisiko tertular HIV.

Upaya pencegahan yang ditawarkan dalam perda ada di pasal 4. Di ayat 2 b disebutkan: Upaya perubahan sikap dan perilaku ke arah hidup bersih dan sehat agar terhindar dari penularan HIV dan mencegah penularan HIV kepada orang lain. Begitu pula pada pasal 12 ayat 1 disebutkan: Masyarakat bertanggungjawab untuk ikut serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a. Berperilaku hidup sehat, b. Meningkatkan ketahanan keluarga dengan cara setia pada pasangannya. Ini juga moralistik karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara hidup bersih dan sehat dengan penularan HIV.

Kegiatan pencegahan pada pasal 5 ayat 2 a disebutkan: Peningkatan kesadaran masyarakat untuk menghindari seks beresiko. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks beresiko’ dan tidak pula dijelaskan bagaimana cara menghindari penularan HIV melalui ‘seks beresiko’.

Sedangkan pada pasal 5 ayat 2 b kegiatan pencegahan disebutkan: Peningkatan kesadaran kepada kelompok beresiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS untuk menggunakan kondom pada setiap melakukan hubungan seks. Tidak ada kelompok yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS karena penularan HIV terkait dengan perilaku orang per orang. Kalau yang dimaksud kelompok beresiko dalam perda ini adalah pekerja seks maka yang menularkan HIV/AIDS kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari adalah penduduk lokal sebagai suami, pacar, selingkuhan yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, aparat, pedagang, preman, dll.

Perda ini menitikberatkan pencegahan melalui orang-orang yang sudah terdeteksi yang diiatur pada pasal 15 dan 16. Padahal, fakta menunjukkan penularan HIV justru banyak terjadi tanpa disadari.

Selama ‘sasaran tembak’ penanggulangan HIV/AIDS hanya pekerja seks maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi secara horizontal antar penduduk tanpa disadari. Hal ini bisa terjadi karena banyak laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi yang sudah tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV tapi tidak mereka sadari. Kondisi ini merupakan ‘bom waktu’ menuju ledakan AIDS.

Untuk itulah perlu digencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat untuk mendorong orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***

* Dimuat di Harian “Berita Pagi” Palembang, 3 April 2008

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun