Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Massa Menceraiberaikan Keluarga Kartam*

8 Desember 2010   01:15 Diperbarui: 30 Januari 2022   20:32 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: gettyimages.com)

“Orang-orang takut tertular, Pak,” kata seorang penduduk di kampung Kartam, di wilayah Kec. Cibuaya, Kab. Karawang. Rupanya, penduduk di sana tidak bisa menerima kehadiran Cece dan keluarganya karena mereka takut tertular. Bahkan, seorang pegawai instansi pemerintah mengatakan berdekatan dengan Cece saja penyakit itu (AIDS, pen.) bisa nepa (menular). Pemuda di kampung itu menuduh Cece membawa aib dan penyebar maut.

Soalnya, berita-berita di media cetak dan elektronik menjurus kepada ‘vonis mati’ terhadap Cece. Dalam berita disebutkan Cece, termasuk dua wanita lain teman Cece yang juga dipulangkan dari Riau, sebagai ‘penderita AIDS’ tinggal menunggu waktu dijemput maut. Bagi masyarakat berita itu menunjukkan bahwa AIDS berarti tinggal menunggu ajal. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada tetangga Cece, ketika mereka masih di Karawang, yang bertaruh: Cece akan mati dua tahun lagi. Artinya, kalau Cece hidup lebih dari dua tahun dia akan membayar taruhan.

Padahal, sampai akhir Mei 1995 belum ada gejala-gejala AIDS pada diri perempuan yang dirundung malang itu. Bahkan, Lebaran tahun 2001 Cece kembali ke kampungnya. Tidak ada gejala-gejala terkait AIDS pada diri perempuan itu. Setelah merayakan lebaran Cece kembali ke Riau.

“Kalau dikorankan lagi saya akan lari,” kata Cece ketika ditemui penulis awal Maret 1995 di sebuah lio di Cikarang, Kab. Bekasi, Jawa Barat. Ayah dan ibunya pun mengatakan bahwa pemberitaan di media massa tentang putrinya sebagai sumber malapetaka bagi keluarganya. Akibat berita di media cetak dan televisi penduduk mengucilkan mereka, aparat mencaci maki dan tidak ada orang yang mau mempekerjakan Kartam. Tidak ada lagi yang mau lewat di depan rumah mereka.

Beberapa judul becerita tentang Cece memang menyebutkan bahwa putrinya itu sudah ‘menderita AIDS’ (mencapai masa AIDS-pen.). Padalah, ketika itu sama sekali belum ada gejala-gejala AIDS. Tes yang dijalani Cece di Riau pun hanya survailans dan hasil tes survailans itu tidak dikonfirmasi dengan tes lain. Ketika darahnya diperiksa di Riau dia baru sekitar dua tahun di sana (berangkat ke Riau tahun 1992) dan bekerja di toko kelontong yang menjual makanan dan minuman ringan. Pemilik toko ini kemudian mengawaninya.

Penduduk di sekitar rumah Cece di Karawang menyebutkan bahwa mereka mengetahui Cece ‘mengidap AIDS’ setelah melihat wajah perempuan itu di salah satu acara sebuah stasiun televisi swasta nasional. Tidak cuma rumah Cece yang dihindari orang, tapi hajatan pesta sunatan di rumah tetangga Cece pun tidak dikunjungi tamu. Undangan sudah disebarluaskan, tapi tidak satu pun yang diundang datang ke hajatan itu.

Tetangga Cece tadi rugi besar, bahkan yang punya hajat itu pun harus menyerahkan uang Rp 400.000 kepada aparat di kecamatan itu. “Katanya, sih, uang denda,” kata seorang penduduk di sana. Rupanya, yang punya hajat tadi adalah orang yang membawa Cece ke Riau dan mempekerjakan Cece sebagai pembatu rumah tangga di rumahnya sebelum Cece kawin di sana. Orang itu pulalah yang membawanya pulang ke kampung ketika Cece ‘diusir’ dari Riau. Sejak peristiwa itu yang punya hajat tadi pun tidak pernah lagi pulang kampung. Padahal, biasanya tiap tahun mereka pulang kampung untuk merayakan Lebaran.

Beberapa hari setelah Cece tiba di kampungnya dari Riau, rumah-rumah penduduk di sekitar rumah Cece disemprot oleh aparat keamanan setempat. Seorang polisi berpakaian dinas berdiri di depan rumah Cece. Sambil bertolak pinggang polisi itu menghardik Cece, “Kamu datang ke sini hanya untuk menularkan penyakit!”

Polisi tadi pun menuduh Cece sebagai pelacur. Kartam yang ketika itu terbaring di ranjang karena sakit hanya bisa mengurut dada mendengar cercaan polisi itu. “Kalau saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia polisi karena anak saya bukan pelacur!” kata Kartam sambil terisak-isak mengenang peristiwa itu.

Setelah beberapa bulan bekerja di rumah tetangganya yang membawanya ke Riau sebagai pembantu rumahtangga Cece kawin dengan seorang lelaki Cina, pemilik toko kelontong tadi. Karena tidak menikah ‘resmi’di KUA itulah, tampaknya, Cece menjadi salah satu obyek pemeriksaan HIV di Riau karena ada mitos yang menyebutkan HIV menular melalui zina. Instansi di Riau pun, tampaknya, hanya memilih perempuan pendatang sebagai obyek survailans tes HIV di daerahnya, padahal tidak tertutup kemungkinan penduduk lokal pun ada yang menjadi ‘bini simpanan’ pendatang yang tidak menikah resmi di KUA.

Dikorankan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun