Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tindakan KPA Merauke Menyesatkan

17 November 2010   03:58 Diperbarui: 9 November 2022   17:13 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: gcene.com)

Jakarta, 21/8-2008. Berita “KPA Merauke Akan Pasang Bendera Merah Di Lokalisasi Atau Tempat Hiburan PSKnya Diketahui Terinveksi HIV/AIDS” di Harian “Cenderawasih Pos” edisi 16 Juni 2008 menunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang tidak komprehensif. Jika personil KPA sendiri tidak memahami HIV/AIDS dengan akurat, lalu, Bagaimana mereka (bisa) menanggulangi epidemi HIV?

Cara yang diterapkan KPA Merauke itu jelas tidak bernalar dan tidak objktif karena tidak semua pekerja seks komersial (PSK) dan pramuria yang sudah tertular HIV menunjukkan gejala khas AIDS pada fisiknya. PSK dan pramuria lain yang tidak terdeteksi HIV-positif tidak ada jaminan mereka HIV-negatif. Soalnya, ketika dilakukan tes di antara mereka yang tertular ada yang masih pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga bulan. Pada masa ini tes bisa menghasilkan positif atau negatif palsu.

Itu artinya negatif palsu. Padahal, dalam darah mereka sudah ada HIV dan mereka sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki pelanggannya yang tidak memakai kondom. Ini jauh lebih ‘berbahaya’ daripada PSK atau pramuria yang sudah terdeteksi HIV-positif karena pada konseling sebelum tes mereka sudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV jika kelak hasil tes mereka positif. PSK dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif menganggap dirinya HIV-negatif sehingga mereka tidak memaksa laki-laki pelanggannya untuk memakai kondom saat sanggama.

Laki-laki Penular

Persoalan lain yang luput dari mata KPA Merauke adalah bahwa ada dua kemungkinan terkait dengan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif.

Pertama, ada kemungkinan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif yang bekerja di Merauke tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, jejaka, dua, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Kalau ini yang terjadi maka tanpa disadari oleh KPA Merauke sudah terjadi penularan HIV antar penduduk secara horizontal tanpa mereka sadari. Hal ini terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV juga tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).

Kedua, ada kemungkinan PSK atau pramuria yang terdeteksi HIV-positif yang bekerja di Merauke sudah tertular sebelum ke Merauke. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV. Kalau ada laki-laki penduduk lokal yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertical). Bisa juga ditularkannya ke PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada PSK atau pasangan seksnya.

Fakta-fakta itulah yang luput dari perhatian KPA Merauke sehingga mereka membuat langkah yang menyesatkan. Soalnya, tempat yang dtandai dengan bendera biru (yang diketahui tidak ada pekerjanya yang HIV-positif) terkesan aman. Padahal, di sana PSK atau pramuria yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi.

Pemasangan bendera merah dikatakan oleh Kadis Kesehatan Kab. Merauke, drg. Josef Rinta, sebagai shock therapy. Ini tidak efektif karena biar pun semua PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif ‘dikandangkan’, masih banyak PSK atau pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif. Kuncinya bukan pada PSK atau pramuria, tapi pada laki-laki pendudik lokal atau pendatang karena merakalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Cara ini tidak diskriminatif tapi bias gender karana hanya melihat peremuan (PSK dan pramuria) sebagai biang keladi penyebaran HIV.

Bias Gender

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun