Kenapa seminar mengenai pelecehan seksual itu pesertanya lebih banyak perempuan? sedangkan dipihak laki-laki dapat terhitung jari.
Kenapa edukasinya tertuju pada korban, bukankah seharusnya lebih penting tertuju untuk pelaku?
Kenapa sebagai narasumbernya mayoritas diisi oleh perempuan?
Padahal lebih banyak laki-lakilah yang perlu diedukasi isi kepalanya.
Setiap kali digelar seminar mengenai pelecehan seksual, yang berdiri di depan adalah para perempuan. Duduk sebagai peserta pun kebanyakan perempuan. Mereka yang bertanya, yang meneteskan air mata, dan yang mengangguk penuh dengan kesedihan dan pengertian adalah perempuan semua. Seolah-olah pelecehan seksual adalah isu yang hanya dihadapi perempuan. Seakan-akan solusinya adalah perempuan perlu lebih paham tentang cara berpakaian, lebih pintar dalam menolak, dan lebih mahir dalam menghindar. Intinya, seolah-lah perempuanlah yang harus lebih siap.
Bukan berarti kalangan perempuan tidak pernah menjadi pelaku pelecehan seksual, tentu ada saja. Namun, jumlahnya minim. Ketika mengamati kursi-kursi kosong yang seharusnya dihuni oleh laki- laki, kita bisa melihat realitas bahwa mereka adalah kelompok yang sering menjadi pelaku, sering kali memegang kekuasaan dan kerap kali tidak menyadari atau berpura-pura tidak sadar mengenai batasan yang ada. Sebaiknya, acara seminar atau diskusi semacam ini lebih diarahkan kepada mereka, yang cara berpikirnya perlu diperbaharui, alih-alih kepada perempuan yang sepanjang waktu sudah berada dalam posisi korban sekaligus berperan sebagai pengajar nilai-nilai moral.
Kehidupan ini sungguhlah unik. Si pelaku dengan bebas beraktivitas dengan tenang, sementara korban harus mengikuti pelatihan. Mereka yang bersalah seharusnya mendapatkan pengarahan untuk berperilaku lebih baik.
Terdapat 3,8 juta perempuan di Afrika menyetrika atau meratakan payudara. Hal ini dilakukan untuk menunda perkembangan pada remaja perempuan.
Berawal dari seorang Ibu yang tidak ingin anaknya menjadi korban pelecehan seksual. Dia memanaskan batu atau sendok pada nyala api ke payudara anaknya yang berusia sepuluh tahun, dengan menekan, memijat atau meratakan payudara, dan itu bisa berlangsung berbulan-bulan.
Menimbulkan dampak yang sangat besar, bukan hanya menyebabkan kerusakan jaringan tetapi juga trauma. Efek samping lainnya termasuk malformasi, keterlambatan produksi asi, dan infeksi.