Mohon tunggu...
indrawan miga
indrawan miga Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pendidik, petani

Pernah wartawan di beberapa media cetak nasional. Kini penulis dengan peminatan topik pendidikan, pertanian, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka atau Bodoh

19 Agustus 2019   23:24 Diperbarui: 19 Agustus 2019   23:25 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panjat Pinang: kerjasama dalam pemerdekaan pendidikan, agar tercapai keberhasilan mutu pendidikan nasional yang berkualitas (kompas.com)

Ini bukan wacana politik menyambut HUT RI ke 74 di tahun 2019 ini. Tapi, merdeka atau bodoh, dalam konteks kependidikan. 

Kemerdekaan atau pemerdekaan pendidikan mesti dijalankan di sekolah-sekolah kita, terutama sekolah negeri di mana mayoritas generasi muda Indonesia bersekolah di sini.  

Jujur saya ingin menyampaikan di sini, bahwa sekolah-sekolah kita mayoritas masih belum merdeka. Masih terkungkung.  

Belum merdeka dari dominasi guru terhadap siswa, dominasi kepala sekolah terhadap guru, dan dominasi yayasan terhadap kepala sekolah dan guru. Juga dominasi dinas pendidikan terhadap pendekatan pendidikan di wilayahnya. 

PEMERDEKAAN PENDIDIKAN


Pemerdekaan pendidikan sederhananya dapat disebut sebagai kebebasan mimbar akademik di sekolah. 

Siswa ingin bebas berekspresi, bereksplorasi, mencoba berbagai hal  dan boleh berbuat salah, serta boleh memberikan jawaban-jawaban alternatif. Tapi guru memegang otoritas kebenaran informasi. Tidak diharapkan ada jawaban lain atau berbeda, sehingga kreatifitas terhambat.  Karena alasan jadwal kurikulum yang padat, amat terbatas ruang untuk berdiskusi dan bertanya jawab. Akibatnya, siswa kita lebih suka menjadi anak pendiam, penurut, dan manis saja. 

Masih banyak kepala sekolah yang kurang memberi ruang otonomi akademik kepada para guru untuk mengembangkan diri. Guru tidak mendapat cukup kebebasan untuk mengembangkan cara-cara mengajar yang menyenangkan dan cocok bagi anak.  Alasan penolakan, karena semua sudah berjalan rutin dari tahun ke tahun seperti itu, jangan diubah-ubah lagi. Pengajaran berjalan seperti tahun-tahun yang lalu itu sudah baik, tak perlu inovasi atau ide macam-macam. Cukuplah dengan rencana pengajaran yang sama, dengan soal-soal yang sama, dengan LKS (lembar kerja siswa) yang sama. 

Juga ada sekolah yang tersandera oleh dilema yayasan pendidikannya sendiri. Maksudnya, keinginan pengelola yayasan menyandera perubahan-perubahan yang ingin dilakukan oleh Kepala sekolah dan para gurunya sendiri.  Keyakinan akan sesuatu yang baik, dari waktu lalu hingga kini, membuat sulit menerima dinamika perubahan kualitas dan tuntutan masyarakat yang seharusnya diwadahi oleh sekolah. 

Hubungan antara guru dengan Kepala Sekolah dan/atau  Yayasan sekolah, sering berada dalam hirakri yang penuh kesungkanan atau bergaya feodalistik.  Guru sungkan bicara kepada kepala sekolah, dan akhirnya malas mengembangkan diri. Guru yang kreatif sering berbenturan dengan kemauan atau kebijakan para senior-senior. Sekolah pun menjadi statis atau berhenti berkembang.   

Dan yang paling pahit, adalah dominasi dinas pendidikan daerah terutama pada administratif dan anggaran, belum pada urusan mutu sekolah. 

Pelayanan dan dukungan kependidikan terhadap lembaga sekolah dan guru, lebih banyak dibingkai dengan tujuan pencapaian prestasi atau kejuaraan. Sepertinya aspek prestasi yang membuat bangga wilayah, itulah yang lebih utama. 

Pemeriksaan kualitas pengajaran di sekolah, lebih kepada standar-standar adiminstratif dan pelaporan anggaran. Bagaimana proses guru berdiri di kelas mengajari siswa, dan mencapai mutu pengajaran di kelas, sesuatu yang kurang diperbincangkan.  Penunjukan pejabat dinas pendidikan, yang jika kurang pas, berakibat kebijakan pendidikan tak berdampak perubahan apa-apa. 

TANPA PEMERDEKAAN PENDIDIKAN, YANG TERJADI  PEMBODOHAN 

Kalimat itu memang terdengar sarkastik dan menyakitkan. 

Kenyataannya begitu. Dengan model-model pembelajaran satu arah seperti yang masih lazim berlaku sekarang ini, tentu proses berfikir anak-anak kita hanya sampai sebagai penghapal materi saja. 

Yang hasilnya adalah pembodohan. Tidak tumbuh sikap kritis dan ingin belajar. Bersekolah menjadi tugas atau beban. Mata pelajaran, seperti matematika, sains, ataupun bahasa, menjadi momok yang selalu harus dihindari. Sekolah memberi tekanan psikologis bagi siswa. 

PR-PR yang begitu banyak, hanya membuat lelah. Alih-alih anak-anak kita mengembangkan diri di sekolah, malahan hanya menjadi robot penerima informasi yang dijejalkan terus setiap hari. Makin banyak tugas, makin hilang senyuman anak. 

Pendidikan yang memerdekakan akan menumbuhkan sikap kritis pada guru dan siswa. 

Guru terus bersemangat mencari cara terbaik untuk menumbuhkan kecerdasan siswa sekaligus menanamkan karakter budi pekerti yang baik. 

Siswa pun bersemangat untuk menggali terus apa saja yang disukainya, tanpa batas. Pikirannya terbentuk makin kritis, ia gemar mempersoalkan berbagai informasi yang menarik baginya, dan mencari jawabannya dari literatur maupun lewat diskusi bersama para guru.  

Dalam renungan Hari Kemerdekaan ke 74 pada 17 Agustus 2019 ini, saya berharap terjadi pemerdekaan pendidikan di jenjang pendidikan dasar- menengah.  

Caranya, dengan mengubah pendekatan teacher center menjadi student center.  Yang terutama adalah melayani kebutuhan siswa dalam belajar.  Baik bagi yang pintar maupun yang lambat, dalam program yang inklusif.  Guru ditantang untuk mengembangkan kemampuannya mencari cara-cara mengajar yang asyik, menarik, dan menyenangkan bagi siswa dengan berbagai kebutuhan tadi. Kesemuanya ditopang oleh kebijakan pendidikan di tingkat daerah yang lebih berorientasi pada pencapaian mutu belajar mengajar. 

Yang terakhir, jauhkan persoalan pendidikan daerah dari kepentingan politik (balas budi),  semata bertujuan untuk memajukan kecerdasan anak bangsa. 

Dengan dukungan anggaran APBN dan APBD yang begitu besar, seharusnya sekolah-sekolah kita menjadi sekolah-sekolah terbaik. 

Merdeka! 

INDRAWAN MIGA     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun