Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Buton ke Swasembada: Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Aspal Nasional

12 Oktober 2025   11:30 Diperbarui: 12 Oktober 2025   11:22 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenis=jenis aspal jalanan. uditchbeton.com 

(Terinspirasi dari semangat buku "Dari Pungo ke Revolusi" karya Ibrahim Kadir)

Setiap zaman memiliki medan juangnya sendiri. Jika dulu rakyat berperang melawan penjajah bersenjata, maka kini perjuangan beralih pada medan ekonomi dan sumber daya. Buton tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme asing, tetapi dengan ketergantungan yang menindas. Ketergantungan pada aspal impor adalah bentuk penjajahan baru yang membungkam potensi bangsa. Dan dari Butonlah, revolusi itu harus kembali dimulai.

Buku "Dari Pungo ke Revolusi" karya Ibrahim Kadir mengingatkan kita bahwa perubahan tidak lahir dari ketakutan, tetapi dari keberanian. Dulu, rakyat kecil di pelosok Aceh menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas. Kini, rakyat Buton harus menolak tunduk pada sistem impor yang memiskinkan negeri sendiri. Jika Ibrahim Kadir bisa menulis kisah perlawanan dari tanah Pungo, maka Buton harus menulis bab baru tentang kedaulatan dari tanah aspalnya sendiri.

Aspal Buton bukan sekadar batu hitam yang menempel di bumi. Ia adalah simbol harga diri, simbol kemandirian, dan simbol kehormatan bangsa yang selama puluhan tahun diabaikan. Di bawah lapisan tanah Buton tersimpan cadangan 663 juta ton aspal yang siap menjadi darah ekonomi Indonesia. Tetapi selama negeri ini lebih percaya pada aspal impor, potensi itu akan tetap terkubur dalam sunyi.

Ibrahim Kadir menulis bahwa revolusi selalu dimulai dari luka dan keheningan. Begitu pula Buton hari ini, yang terluka karena diabaikan, dan diam karena tidak didengar. Namun di balik diam itu, ada bara perjuangan yang menunggu disulut. Sebab Buton tahu: tidak ada bangsa besar yang tumbuh dari sikap pasrah terhadap ketergantungan.

Swasembada aspal bukan sekadar proyek teknokratik, melainkan perjuangan ideologis. Ia adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu berdiri di atas sumber daya sendiri. Ketika negara-negara lain berlomba melindungi sumber alamnya, kita justru membiarkan Buton menjadi penonton di tanah sendiri. Inilah paradoks yang harus diakhiri. Dan akhir itu hanya bisa dimulai dari keberanian.

Dari Buton ke Swasembada adalah perjalanan dari keterpinggiran menuju kemandirian. Dari batu yang diabaikan menjadi simbol revolusi energi nasional. Setiap butir aspal Buton adalah saksi kesabaran rakyat yang menunggu pengakuan. Kini, waktu untuk menunggu sudah habis, saatnya berjuang seperti Ibrahim Kadir menulis: dengan pena, dengan tekad, dan dengan kejujuran sejarah.

Negeri ini tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keberanian politik. Sejak era Jokowi hingga Prabowo, Buton hanya disebut sebagai catatan kaki dalam pidato pembangunan. Padahal, jika satu langkah nyata diambil, Indonesia bisa menghemat lebih dari Rp10 triliun per tahun dari impor aspal. Tetapi diam itu masih menjadi pilihan.

Revolusi Buton bukan tentang melawan pemerintah, melainkan membangunkan pemerintah dari tidur panjangnya. Rakyat Buton tidak menuntut belas kasihan, melainkan keadilan. Mereka tidak meminta disubsidi, tetapi diberi kesempatan untuk berproduksi. Karena dari setiap tetes keringat di tanah Buton, tersimpan janji kemakmuran nasional.

Ibrahim Kadir mengajarkan bahwa revolusi harus lahir dari kesadaran, bukan kemarahan. Buton hari ini sadar, bahwa menunggu hanya memperpanjang penderitaan. Maka perjuangan swasembada aspal 2030 bukan lagi impian, melainkan kewajiban moral dan sejarah. Siapa pun yang memimpin negeri ini, harus berani berpihak pada potensi bangsa sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun