Indonesia tengah membicarakan pertumbuhan ekonomi tanpa utang, namun di Pulau Buton harta karun aspal alam tetap terdiam. Sumber pendapatan yang bisa menopang APBN dibiarkan terbengkalai. Sementara DPR dan pemerintah berdebat soal strategi fiskal, potensi ratusan juta ton aspal hanya menjadi catatan pinggir. Jalan menuju kedaulatan ekonomi sesungguhnya sudah menunggu, tetapi sepi perhatian.
Ketika para politisi mengangkat wacana mengubah strategi dari utang ke pendapatan, mereka seakan lupa bahwa pendapatan terbesar seringkali datang dari bumi sendiri. Aspal Buton adalah bukti paling terang, cadangan yang bisa mengurangi devisa keluar dan menambah kas negara. Namun percakapan resmi lebih sibuk pada angka pajak dan pinjaman luar negeri. Sebuah ironi, karena jawaban ada tepat di bawah kaki kita.
Bayangkan, ratusan juta ton aspal alam menunggu di Buton, cukup untuk ratusan tahun kebutuhan nasional. Di sisi lain, Indonesia terus membayar bunga utang ratusan triliun rupiah setiap tahun. Ini bukan sekadar ketidakselarasan, ini kebijakan yang menentang akal sehat. Bagaimana mungkin kita bicara kemandirian fiskal, jika bahan baku infrastruktur saja masih bergantung pada impor aspal?
Dalam rapat-rapat paripurna, para pejabat menekankan pentingnya "pertumbuhan berbasis pendapatan". Namun pendapatan tidak akan jatuh dari langit tanpa pemanfaatan sumber daya nyata. Aspal Buton adalah pendapatan nyata yang bisa menambal defisit. Mengabaikannya sama dengan menolak pintu keluar dari jebakan utang.
Menteri Keuangan berbicara tentang rem dan gas dalam mengelola utang. Analogi itu indah di atas kertas, tetapi kenyataan di lapangan lebih keras. Setiap tahun, impor aspal tetap mengalir seperti kebocoran permanen dalam tangki ekonomi. Rem dan gas tidak ada gunanya jika kita sengaja melubangi tangki bahan bakar sendiri.
Pemerintah bangga karena defisit di bawah tiga persen PDB, tetapi berapa persen devisa kita hilang untuk membeli aspal dari luar negeri? Pertanyaan itu jarang dijawab di podium. Padahal angka miliaran dolar melayang setiap tahun. Jalan sunyi Buton tidak pernah masuk agenda prioritas fiskal.
Ketika dunia bicara transisi energi dan ekonomi hijau, Indonesia justru menunda transisi kedaulatan bahan baku. Aspal Buton bukan sekadar tambang, ia adalah simbol kemandirian. Dengan mengolahnya, kita menulis babak baru pertumbuhan berbasis pendapatan riil. Tanpanya, wacana kemandirian hanya akan menjadi jargon kampanye.
Rakyat Buton tahu nilai tanah mereka, meski jarang diliput media nasional. Mereka menunggu keadilan ekonomi, bukan sekadar kunjungan pejabat. Setiap tahun mereka melihat kapal pengangkut aspal impor merapat ke pelabuhan Indonesia. Pemandangan itu seperti ejekan bagi keringat mereka sendiri.
Setiap triliun rupiah untuk bunga utang adalah triliun yang tidak digunakan membangun pabrik ekstraksi aspal. Setiap triliun untuk impor adalah triliun yang tidak menghidupkan lapangan kerja lokal. Apakah kita harus menunggu krisis besar untuk menyadari kebodohan ini? Sejarah sering mencatat bangsa yang belajar hanya setelah terluka.
Aspal Buton bisa menjadi penopang APBN tanpa menambah utang baru. Potensi pajak, royalti, dan multiplier effect ekonominya sangat besar. Tetapi kebijakan pusat seperti pura-pura tidak melihat. Jalan menuju kedaulatan ekonomi tetap sunyi, hanya disoroti oleh segelintir orang yang peduli.
Ketika pandemi memaksa kita menambah utang besar, semua pihak menuding kondisi darurat. Namun mengapa saat peluang di depan mata, kita justru ragu? Kedaulatan ekonomi bukan hanya tentang krisis, tetapi keberanian mengambil keputusan saat situasi normal. Dan keberanian itu tampaknya langka.
Politik sering dijadikan alasan: kepentingan, oligarki, atau kalkulasi pemilu. Namun rakyat tidak bisa hidup dari alasan. Mereka butuh jalan, lapangan kerja, dan kebanggaan atas kekayaan sendiri. Mengabaikan Buton berarti mengabaikan janji konstitusi untuk mensejahterakan rakyat.
DPR meminta peta jalan pengelolaan utang, tetapi mengapa tidak sekaligus meminta peta jalan swasembada aspal 2030? Peta itu jauh lebih konkret dalam menambah pendapatan negara. Setiap ton aspal Buton yang diolah adalah pajak, devisa, dan pembangunan daerah. Mengapa peta jalan itu tidak pernah disusun serius?
Dalam setiap pidato tentang kemandirian ekonomi, para pemimpin menyebut kedaulatan pangan, energi, dan industri. Tetapi jarang menyebut kedaulatan material infrastruktur. Seolah aspal hanyalah urusan kecil. Padahal tanpa jalan, semua sektor lain akan terhenti.
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan negara maju memanfaatkan habis sumber dayanya sebelum mencari utang. Indonesia justru membalik logika itu. Kita membiarkan kekayaan alam menganggur, lalu menadahkan tangan ke kreditur asing. Jalan sunyi Buton adalah saksi bisu dari paradoks itu.
Setiap generasi pemimpin diuji oleh pilihan sederhana: mengelola kekayaan sendiri atau bergantung pada pinjaman. Generasi sekarang sedang menghadapi ujian itu, dan jawabannya akan menentukan masa depan. Aspal Buton adalah kertas ujian yang menunggu tanda tangan kebijakan. Jika dibiarkan, sejarah akan menulis: kita gagal karena takut mengambil peluang.
Kedaulatan ekonomi bukan teori di ruang sidang, tetapi keberanian menapaki jalan sunyi. Aspal Buton memberi kita kesempatan emas untuk membuktikan itu. Pertumbuhan berbasis pendapatan sejati dimulai dari sini, bukan dari obligasi asing. Pertanyaannya: beranikah kita menempuh jalan sunyi menuju kedaulatan ekonomi, atau terus memilih kebisingan utang yang menyesakkan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI