Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aspal Buton: Tantangan Zaman atau Bukti Kita tak Pernah Belajar ?

25 September 2025   20:30 Diperbarui: 25 September 2025   20:28 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tantangan dan strategi aspal Buton. Sumber: jurnalmasyarakat.com

Teknologi tidak lagi menjadi penghalang. Para insinyur siap, investor lokal siap, standar dunia sudah disiapkan. Yang absen hanyalah keberanian politik. Keberanian untuk berkata: "Cukup, kita pakai milik sendiri." Keberanian itu sepertinya langka di ruang kekuasaan.

Setiap rupiah untuk aspal impor adalah rupiah yang hilang dari sirkulasi rakyat. Itu bukan teori, tetapi matematika sederhana. Namun para pengambil kebijakan tampaknya memilih aljabar kepentingan pribadi. Mereka mengutamakan angka di rekening sendiri, bukan angka di kas negara. Beginilah cara bangsa dijajah oleh bangsanya sendiri.

Indonesia bangga sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tetapi dalam hal kemandirian aspal, kita terjebak dalam otoritarianisme kepentingan. Suara rakyat nyaris tidak terdengar dibandingkan bisik lobi para importir. Demokrasi tanpa kedaulatan hanya hiasan di panggung dunia. Kita seolah belajar demokrasi tetapi melupakan logika kemandirian.

Waktu terus bergerak, jalan baru terus dibangun, dan impor aspal terus mengalir. Setiap kilometer jalan menjadi monumen kegagalan akal sehat. Dunia berubah cepat, tetapi pola pikir kita tetap beku. Ini bukan lagi tantangan zaman, ini kemalasan berpikir. Sejarah akan menuliskannya sebagai ironi bangsa besar yang berpikir kecil.

Para pemimpin sering berbicara tentang "legacy" atau warisan kepemimpinan. Namun warisan apa yang mereka tinggalkan jika ketergantungan impor aspal terus dibiarkan? Anak cucu akan mewarisi jalan mulus yang ditambal kebodohan. Mereka akan bertanya: mengapa kakek-nenek kami tidak belajar dari peluang yang begitu jelas? Pertanyaan itu akan menggema seperti dakwaan.

Aspal Buton bukan hanya sumber daya, tetapi simbol kebangkitan akal sehat. Menggunakannya berarti memutus rantai ketergantungan. Mengabaikannya berarti terus tunduk pada logika penjajahan modern. Pilihan ini bukan soal teknis, tetapi soal harga diri bangsa. Apakah kita masih memiliki keberanian itu?

Kini saatnya kita bercermin dan menjawab pertanyaan judul ini sendiri. Apakah Aspal Buton sekadar tantangan zaman, atau bukti kita tak pernah belajar? Cermin itu jujur, tidak bisa dibohongi oleh pidato dan janji. Jika kita masih memilih impor aspal, maka jawabannya sudah jelas. Kita memang bangsa yang pandai berbicara merdeka, tetapi gagal total memerdekakan akal sehatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun