Delapan puluh tahun merdeka, namun Indonesia masih menambal jalan dengan aspal impor. Angka miliaran dolar mengalir deras keluar negeri setiap tahun seolah negeri ini miskin sumber daya. Padahal di Pulau Buton, cadangan aspal alam terbentang seperti samudra hitam tanpa tepi. Ironi ini menampar logika dan menantang akal sehat. Apakah ini sekadar tantangan zaman, atau cermin bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah?
Fakta cadangan 660 juta ton aspal Buton bukan kabar baru. Data ini sudah beredar di meja kementerian sejak puluhan tahun lalu. Teknologi pengolahan pun bukan rahasia lagi, sudah teruji dan dipakai negara lain. Namun kebijakan kita tetap berkiblat ke impor aspal, seolah terhipnotis pada aspal minyak luar negeri. Bukankah itu pertanda pelajaran lama terus diabaikan?
Presiden demi presiden berganti, janji swasembada aspal tidak pernah jadi kenyataan. Pidato lantang terdengar setiap periode, tetapi hanya menjadi arsip berita lama. Pak Jokowi sempat menabuh genderang stop impor aspal 2024, namun gaungnya meredup begitu saja. Kini Pak Prabowo memegang kendali, tetapi kebijakan yang sama tetap mandek. Sejarah seperti piringan hitam yang macet di nada kegagalan.
Jika kualitas aspal Buton diragukan, laboratorium internasional sudah menepis keraguan itu. Jalan-jalan uji coba membuktikan daya tahan dan standar globalnya. Namun dalih kualitas terus diulang di ruang rapat, seperti mantra untuk menenangkan nurani. Alasan yang sama terdengar seperti rekaman usang. Apakah pemerintah benar-benar buta atau sengaja menutup mata?
Setiap tahun, kapal tanker membawa aspal impor masuk pelabuhan. Bersamaan dengan itu, devisa negara melayang, lapangan kerja lokal tertutup. Penambang di Buton hanya bisa menatap laut, menyaksikan peluang emas lewat begitu saja. Ironi ini lebih dari sekadar kebijakan ekonomi, ini pengkhianatan terhadap akal sehat. Kita seolah rela dijajah oleh kebodohan sendiri.
Oligarki impor aspal menari di balik layar. Mereka paham bahwa setiap kontrak impor aspal adalah tambang laba tanpa resiko. Keuntungan mereka terjamin selama kebijakan tidak berubah. Kepentingan segelintir orang pun mengalahkan kepentingan bangsa. Di sinilah pelajaran paling pahit: kita membiarkan sejarah dikuasai para pedagang kepentingan.
Rakyat Buton bukan sekadar penonton, mereka adalah pemilik tanah kaya itu. Mereka menggali, menambang, dan menunggu kebijakan berpihak. Namun yang datang hanya janji dan kunjungan seremonial. Setiap kunjungan pejabat terasa seperti sandiwara politik. Mereka pulang membawa foto, bukan solusi.
Kita sering membanggakan kedaulatan pangan dan energi. Tetapi jarang menyebut kedaulatan infrastruktur, seolah aspal hanyalah remeh-temeh. Padahal jalan adalah urat nadi pergerakan ekonomi dan logistik. Tanpa jalan yang mandiri, kedaulatan lainnya hanya ilusi. Mengabaikan aspal Buton berarti menandatangani kontrak ketergantungan jangka panjang.
Anak-anak Buton tumbuh dengan cerita tentang kekayaan bumi mereka. Mereka belajar bahwa Indonesia merdeka agar bisa berdiri di kaki sendiri. Namun fakta di lapangan membantah pelajaran sekolah itu. Jalan-jalan di ibu kota justru menjadi monumen aspal impor. Bagaimana mereka bisa percaya pada buku pelajaran jika kenyataan begitu menyedihkan?
Setiap kebijakan yang menunda pemanfaatan aspal Buton adalah nada sumbang dalam simfoni bangsa. Kita menyanyikan lagu kemerdekaan sambil menari di atas ketergantungan. Nada itu memecah harmoni dan menampar nurani. Dunia melihat kita sebagai negara besar yang enggan menggunakan otaknya sendiri. Bukankah itu bukti kita tidak pernah belajar dari sejarah penjajahan?
Teknologi tidak lagi menjadi penghalang. Para insinyur siap, investor lokal siap, standar dunia sudah disiapkan. Yang absen hanyalah keberanian politik. Keberanian untuk berkata: "Cukup, kita pakai milik sendiri." Keberanian itu sepertinya langka di ruang kekuasaan.
Setiap rupiah untuk aspal impor adalah rupiah yang hilang dari sirkulasi rakyat. Itu bukan teori, tetapi matematika sederhana. Namun para pengambil kebijakan tampaknya memilih aljabar kepentingan pribadi. Mereka mengutamakan angka di rekening sendiri, bukan angka di kas negara. Beginilah cara bangsa dijajah oleh bangsanya sendiri.
Indonesia bangga sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tetapi dalam hal kemandirian aspal, kita terjebak dalam otoritarianisme kepentingan. Suara rakyat nyaris tidak terdengar dibandingkan bisik lobi para importir. Demokrasi tanpa kedaulatan hanya hiasan di panggung dunia. Kita seolah belajar demokrasi tetapi melupakan logika kemandirian.
Waktu terus bergerak, jalan baru terus dibangun, dan impor aspal terus mengalir. Setiap kilometer jalan menjadi monumen kegagalan akal sehat. Dunia berubah cepat, tetapi pola pikir kita tetap beku. Ini bukan lagi tantangan zaman, ini kemalasan berpikir. Sejarah akan menuliskannya sebagai ironi bangsa besar yang berpikir kecil.
Para pemimpin sering berbicara tentang "legacy" atau warisan kepemimpinan. Namun warisan apa yang mereka tinggalkan jika ketergantungan impor aspal terus dibiarkan? Anak cucu akan mewarisi jalan mulus yang ditambal kebodohan. Mereka akan bertanya: mengapa kakek-nenek kami tidak belajar dari peluang yang begitu jelas? Pertanyaan itu akan menggema seperti dakwaan.
Aspal Buton bukan hanya sumber daya, tetapi simbol kebangkitan akal sehat. Menggunakannya berarti memutus rantai ketergantungan. Mengabaikannya berarti terus tunduk pada logika penjajahan modern. Pilihan ini bukan soal teknis, tetapi soal harga diri bangsa. Apakah kita masih memiliki keberanian itu?
Kini saatnya kita bercermin dan menjawab pertanyaan judul ini sendiri. Apakah Aspal Buton sekadar tantangan zaman, atau bukti kita tak pernah belajar? Cermin itu jujur, tidak bisa dibohongi oleh pidato dan janji. Jika kita masih memilih impor aspal, maka jawabannya sudah jelas. Kita memang bangsa yang pandai berbicara merdeka, tetapi gagal total memerdekakan akal sehatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI