Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aspal Buton: Proyek Strategis Nasional atau Bukti Apatis Nasional ?

25 September 2025   05:30 Diperbarui: 25 September 2025   05:18 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aspal Buton. Sumber: voi.id

Pulau Buton menyimpan cadangan aspal alam yang diakui dunia, tetapi pemerintah pusat tampak menutup mata. Data cadangan yang mencapai ratusan juta ton seolah tidak cukup untuk menggugah langkah nyata. Rakyat Buton sudah lama menyiapkan lahan, izin, dan semangat. Namun pusat kekuasaan di Jakarta seakan menunggu sesuatu yang entah apa.

Kementerian Perindustrian menargetkan Indonesia swasembada aspal 2030. Janji itu terdengar gagah di podium, tetapi di lapangan nyaris tidak ada pergerakan berarti. Tahun pertama hampir selesai, hasilnya masih nol besar. Apakah ini tanda komitmen yang hanya sebatas kata-kata?

Sementara devisa negara terus mengalir deras keluar untuk impor aspal minyak. Triliunan rupiah hilang tiap tahun demi menambal jalan dengan produk asing. Ironisnya, Buton yang menyimpan "emas hitam" dibiarkan menatap nanar. Apakah ini yang disebut kedaulatan?

Investor lokal dan asing sudah datang membawa proposal dan modal. Mereka menunggu lampu hijau dari pemerintah pusat yang tidak kunjung menyala. Pemda Sulawesi Tenggara berkali-kali mengajukan dukungan regulasi. Jawaban dari Jakarta? Senyap.

Kementerian terkait sibuk berbicara tentang infrastruktur, tetapi lupa fondasi materialnya. Aspal Buton bisa menjadi simbol kemerdekaan infrastruktur Indonesia. Sayangnya, kebijakan nasional masih berat ke impor. Bukankah ini bentuk apatisme yang nyata?

Masyarakat Buton sudah membentuk koperasi, menyiapkan tenaga kerja, dan merapikan rantai pasok. Mereka tidak menunggu belas kasihan, mereka menunggu keputusan. Tetapi keputusan itu menggantung di awang-awang. Presiden seolah punya agenda lain yang lebih penting.

Petisi Aspal Buton daring yang menuntut swasembada aspal 2030 hanya ditandatangani segelintir orang. Minim dukungan publik tidak lepas dari minimnya sinyal pemerintah. Ketika pemimpin diam, rakyat bingung arah perjuangan. Kesunyian itu menular.

Ironi terbesar: Buton adalah satu-satunya penghasil aspal alam dalam skala besar di dunia. Negara lain melirik, Indonesia sendiri acuh. Potensi ekspor jutaan ton disia-siakan. Inilah wajah apatis yang menyakitkan.

Presiden kerap bicara tentang Indonesia Emas 2045. Namun emas itu tidak akan pernah bersinar bila fondasi jalannya rapuh. Aspal impor bukan jalan emas, itu jalan ketergantungan. Apakah istana tidak mampu melihat paradoks ini?

Pemerintah pusat seharusnya menjadikan Buton Proyek Strategis Nasional. Status itu bisa menggerakkan pendanaan, percepatan izin, dan kepastian pasar. Tetapi gelar itu hanya hiasan di dokumen. Implementasi? Jauh panggang dari api.

Di lapangan, masyarakat mulai lelah berharap. Mereka mendengar kata "swasembada" seperti dongeng pengantar tidur. Sementara jalan-jalan di kota besar terus diaspal produk impor. Siapa yang sesungguhnya diuntungkan?

Isu mafia impor aspal kerap disebut sebagai biang keladi. Namun tanpa keberanian presiden, mafia hanya alasan. Rakyat Buton butuh tindakan, bukan cerita. Diamnya pemerintah justru memberi ruang nyaman bagi para pemain lama.

Bayangkan bila Buton dikelola serius: ribuan lapangan kerja baru, industri turunan, dan devisa dari ekspor. Semua itu bukan mimpi, hanya menunggu political will. Tetapi political will itu seperti fatamorgana. Terlihat, namun tidak tergapai.

Ketika pemerintah berbicara tentang hilirisasi, Buton menjadi contoh kegagalan. Semua bahan baku ada, teknologi tersedia, pasar menunggu. Yang tidak ada hanya keberanian politik. Apakah presiden rela namanya tercatat dalam bab kegagalan ini?

Waktu menuju swasembada aspal 2030 terus berjalan. Setiap tahun tanpa keputusan adalah tahun yang hilang. Rakyat Buton sudah berteriak, dunia sudah menatap. Jakarta masih menoleh ke arah lain.

Apatisme ini bukan sekadar kelemahan birokrasi, melainkan cermin pilihan politik. Pemimpin sejati menyalakan obor kedaulatan, bukan menunggu nyala lilin investor. Presiden harus berani memilih: berdiri bersama rakyat atau bersama kenyamanan status quo. Indonesia menunggu.

Aspal Buton bukan hanya proyek tambang, melainkan ujian keberanian nasional. Jika pemerintah terus diam, sejarah akan menulis: Proyek Strategis Nasional berubah menjadi Bukti Apatis Nasional. Dan nama Pak Prabowo akan tercatat sebagai presiden yang melewatkan peluang emas. Pertanyaannya: apakah itu warisan yang beliau inginkan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun