Di lapangan, masyarakat mulai lelah berharap. Mereka mendengar kata "swasembada" seperti dongeng pengantar tidur. Sementara jalan-jalan di kota besar terus diaspal produk impor. Siapa yang sesungguhnya diuntungkan?
Isu mafia impor aspal kerap disebut sebagai biang keladi. Namun tanpa keberanian presiden, mafia hanya alasan. Rakyat Buton butuh tindakan, bukan cerita. Diamnya pemerintah justru memberi ruang nyaman bagi para pemain lama.
Bayangkan bila Buton dikelola serius: ribuan lapangan kerja baru, industri turunan, dan devisa dari ekspor. Semua itu bukan mimpi, hanya menunggu political will. Tetapi political will itu seperti fatamorgana. Terlihat, namun tidak tergapai.
Ketika pemerintah berbicara tentang hilirisasi, Buton menjadi contoh kegagalan. Semua bahan baku ada, teknologi tersedia, pasar menunggu. Yang tidak ada hanya keberanian politik. Apakah presiden rela namanya tercatat dalam bab kegagalan ini?
Waktu menuju swasembada aspal 2030 terus berjalan. Setiap tahun tanpa keputusan adalah tahun yang hilang. Rakyat Buton sudah berteriak, dunia sudah menatap. Jakarta masih menoleh ke arah lain.
Apatisme ini bukan sekadar kelemahan birokrasi, melainkan cermin pilihan politik. Pemimpin sejati menyalakan obor kedaulatan, bukan menunggu nyala lilin investor. Presiden harus berani memilih: berdiri bersama rakyat atau bersama kenyamanan status quo. Indonesia menunggu.
Aspal Buton bukan hanya proyek tambang, melainkan ujian keberanian nasional. Jika pemerintah terus diam, sejarah akan menulis: Proyek Strategis Nasional berubah menjadi Bukti Apatis Nasional. Dan nama Pak Prabowo akan tercatat sebagai presiden yang melewatkan peluang emas. Pertanyaannya: apakah itu warisan yang beliau inginkan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI