Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pidato Gagah di PBB, Janji yang Terlupakan di Buton

22 September 2025   11:15 Diperbarui: 22 September 2025   11:06 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto tiba di JFK. Sumber: Biro Pers Sekretariat  Kepresidenan

Pada tanggal 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa, suara lantang menggema di ruang sidang yang dihuni 193 negara. Kata-katanya penuh keyakinan tentang perdamaian dunia, keadilan global, dan keberanian menantang ketidakadilan internasional. Dunia mendengar, menaruh hormat, dan mencatat Indonesia kembali ke panggung utama setelah sepuluh tahun absen. Dari New York, Indonesia tampak perkasa dan tak gentar.

Namun, di seberang lautan, Pulau Buton hanya bisa menatap dari kejauhan. Aspal alam yang menyimpan potensi ratusan juta ton tetap dibiarkan tertidur panjang. Janji swasembada aspal 2030 masih menjadi dokumen, bukan kenyataan. Kontras ini menyayat hati: suara keras di PBB, tetapi senyap di tanah sendiri.

Di podium PBB, Prabowo berbicara tentang kedaulatan ekonomi. Ia menekankan bahwa Indonesia tidak boleh tunduk pada kekuatan besar dunia. Kalimat-kalimat itu mendapat tepuk tangan meriah. Tetapi apakah kedaulatan itu juga berlaku untuk aspal Buton?

Sebelum menjadi presiden, Prabowo dikenal vokal melawan mafia impor. Ia menyebut akan menumpas mafia pangan, dan energi. Publik menaruh harapan pada nyali besar yang digembar-gemborkan. Kini, setahun memimpin, publik masih menunggu bukti.

Pidato di PBB memikat dunia dengan janji kerja sama global dan ketegasan menolak ketidakadilan. Tetapi mafia impor aspal, yang kabarnya merugikan miliaran devisa, tetap seperti bayangan tidak tersentuh. Apakah musuh yang jauh lebih menakutkan daripada musuh yang dekat? Pertanyaan itu menggantung di langit Buton.

Aspal Buton adalah simbol kedaulatan nyata: produksi dalam negeri untuk membangun jalan sendiri. Namun pemerintah masih mengimpor aspal minyak dari negara lain. Padahal di PBB, Prabowo menegaskan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Ironi ini kian mencolok.

Setiap ton aspal impor adalah kebocoran kedaulatan. Buton memiliki "karpet hitam" yang siap digelar bagi industri hilirisasi. Investor menunggu lampu hijau. Tetapi keberanian di forum dunia tidak kunjung diterjemahkan ke tindakan domestik.

Di PBB, Prabowo menuntut reformasi tata kelola global agar lebih adil. Ia mengajak dunia melawan hegemoni. Tetapi di rumah, rakyat Buton menunggu reformasi tata kelola nasional yang tak kunjung tiba. Apakah keadilan global lebih penting daripada keadilan lokal?

Pidato itu menyinggung krisis Gaza, perang Ukraina, dan ketidaksetaraan global. Dunia mendengar pesan moralnya. Namun di Buton, isu yang lebih sederhana, mengolah kekayaan alam sendiri, tidak pernah menjadi prioritas nyata. Apakah itu tidak cukup heroik untuk panggung internasional?

Pak  Prabowo mengutip Piagam PBB tentang kedaulatan dan hak menentukan nasib sendiri. Kata-kata itu menyalakan semangat delegasi negara berkembang. Tetapi bukankah rakyat Buton juga punya hak menentukan nasib aspalnya? Mengapa hak itu dibiarkan terkatung-katung?

Saat Presiden berbicara tentang mengurangi ketimpangan, jalanan kota besar tetap diselimuti aspal impor. Setiap kilometer jalan nasional adalah pengingat kebijakan yang tumpul. Kesenjangan antara retorika internasional dan aksi domestik kian menganga. Buton merasakan ketidakadilan itu setiap hari.

Pak Prabowo menyatakan Indonesia siap memimpin Global South. Ia menuntut kemandirian energi dan sumber daya di level dunia. Namun di tanah sendiri, kemandirian aspal masih sebatas wacana. Kepemimpinan global tanpa keberanian lokal hanya menjadi sandiwara.

Investor internasional justru tertarik dengan potensi Buton. Mereka melihat peluang devisa, lapangan kerja, dan inovasi teknologi. Tetapi pemerintah pusat lamban membuka pintu. Pidato di PBB tidak mampu menembus birokrasi sendiri.

Rakyat Buton mendengar pidato presiden dengan kebanggaan bercampur getir. Mereka bangga Indonesia disorot dunia, tetapi kecewa janji lama tak ditagih. Mereka tahu, kata-kata di New York tidak otomatis menjadi kebijakan di Buton. Luka lama tetap belum sembuh.

Mafia impor aspal tetap menjadi misteri. Jika benar ada, mengapa tidak dibongkar? Jika tidak ada, mengapa dijadikan alasan? Keberanian menentang kekuatan asing ternyata lebih mudah daripada menantang jaringan di dalam negeri.

Sejarah akan mengingat pidato gagah di PBB. Tetapi sejarah juga akan menulis apakah janji melawan mafia impor aspal dan membangkitkan aspal Buton ditepati. Dua narasi ini akan berdiri berdampingan, menunggu pembuktian. Dunia menonton, tetapi rakyat menilai lebih tajam.

Presiden Prabowo, panggung PBB sudah Anda taklukkan. Kini panggung Buton menunggu langkah nyata. Apakah keberanian di forum dunia bisa diulang untuk menuntaskan mafia impor aspal? Atau akan kita saksikan lagi: pidato gagah di luar negeri, bisu di rumah sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun