Kewenangan Pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi: Antara Supremasi Konstitusi dan Hak Asasi Manusia
Oleh: Muhamad Indra Wijaya
(Tulisan reflektif hukum dan konstitusi)
Pendahuluan
Dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. Salah satu kewenangan penting MK yang jarang dibicarakan secara mendalam ialah kewenangan untuk memutus pembubaran partai politik.
Kewenangan ini secara eksplisit termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyebut:
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."
Namun dalam praktiknya, tidak pernah ada satu pun partai politik di Indonesia yang dibubarkan oleh MK sejak lembaga ini berdiri tahun 2003. Hal ini menimbulkan perdebatan substantif, terutama karena kewenangan pembubaran partai politik dianggap kontradiktif dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)Â khususnya hak untuk berserikat dan berpartisipasi dalam politik yang dijamin UUD 1945.
Dimensi Konstitusional: Supremasi Negara Hukum
Kewenangan pembubaran partai politik oleh MK dijabarkan secara rinci dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan:
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus pembubaran partai politik."
Namun, Pasal 68 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 membatasi:
"Pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah."
Artinya, MK tidak dapat membubarkan partai politik secara langsung, melainkan hanya menilai dan memutus permohonan yang diajukan oleh Pemerintah. MK berfungsi sebagai constitutional judge, bukan sebagai "eksekutor politik".
Kedudukan ini menunjukkan prinsip supremasi konstitusi (the supremacy of the Constitution)Â bahwa segala tindakan, termasuk pembubaran partai politik, harus berdasar hukum dan konstitusi, bukan kehendak kekuasaan semata sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Perdebatan Substantif: Antara Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia
Sejak diberlakukannya amandemen UUD 1945, hak politik warga negara menjadi bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang dijamin secara konstitusional.
- Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebut:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
- Pasal 28I ayat (1) menegaskan:
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."
Kedua pasal ini menjadi dasar bahwa pembubaran partai politik tidak hanya menyentuh aspek hukum tata negara, tetapi juga menyentuh inti dari hak asasi manusia  kebebasan berpolitik.
Karena itu, banyak ahli menyebut kewenangan ini sebagai "pedang bermata dua":
- Di satu sisi, MK wajib menjaga integritas negara dan sistem demokrasi dari ancaman ideologi yang bertentangan dengan Pancasila;
- Namun di sisi lain, MK harus memastikan tidak ada pelanggaran hak politik warga negara yang dijamin UUD 1945.
Prinsip HAM dan Uji Proporsionalitas
Dalam konteks hukum internasional dan HAM, pembubaran partai politik hanya dapat dibenarkan jika memenuhi prinsip necessity and proportionality test  atau dalam hukum tata negara disebut asas proporsionalitas.
Prinsip ini mengharuskan setiap pembatasan hak dilakukan:
- Untuk tujuan yang sah (legitimate aim), yaitu melindungi keamanan dan integritas negara;
- Dengan cara yang diperlukan (necessity), yakni tidak ada alternatif yang lebih ringan;
- Secara proporsional (proportionality), yaitu pembatasan yang dilakukan seimbang dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum."
Dengan demikian, pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan jika benar-benar terbukti melanggar prinsip konstitusi dan mengancam eksistensi negara, bukan sekadar karena perbedaan pandangan politik.
Fakta Praktik: Nihil Pembubaran oleh MK
Sejak berdirinya MK pada tahun 2003 hingga kini, tidak satu pun partai politik yang dibubarkan melalui putusan MK.
Hal ini menunjukkan dua hal penting:
- MK menjalankan prinsip kehati-hatian konstitusional (constitutional caution) Â bahwa pembubaran partai bukan perkara sederhana, karena menyentuh hak dasar warga negara.
- Pemerintah belum pernah mengajukan permohonan pembubaran (sebagai syarat formil berdasarkan Pasal 68 UU MK).
Akibatnya, kewenangan ini seperti "mati suri", meskipun secara konstitusional tetap hidup dan sah.
Hal ini pernah dikritisi oleh Aswanto (Hakim Konstitusi RI) dalam Webinar Hukum Nasional 2022 (Kemenkumham RI), yang mengatakan:
"Pembubaran partai politik adalah wewenang yang sangat sensitif. Di satu sisi merupakan mandat konstitusi, tapi di sisi lain bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak politik warga negara."
Analisis Akademik
Dalam kerangka hukum tata negara modern, perdebatan ini adalah benturan antara dua nilai fundamental:
- Konstitusionalisme (constitutionalism) --- yaitu kewajiban negara menjaga supremasi konstitusi;
- Hak Asasi Manusia (human rights constitutionalism) --- yaitu kewajiban negara melindungi kebebasan politik warga negara.
Keduanya tidak boleh saling meniadakan. MK harus menafsirkan kewenangan pembubaran partai secara restriktif dan proporsional, sehingga:
- Negara tetap kuat dan terlindungi dari ancaman ideologis,
- Namun warga negara tetap bebas menyalurkan aspirasi politik dalam koridor konstitusi.
Inilah yang disebut oleh Jimly Asshiddiqie (2010) sebagai "konstitusionalisme berkeadaban" (civilized constitutionalism) Â bahwa kekuasaan hukum harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap martabat manusia.
Penutup
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga supremasi konstitusi, namun sekaligus ujian bagi komitmen negara terhadap demokrasi dan HAM.
Jika suatu saat kewenangan ini benar-benar digunakan, maka MK harus memastikan bahwa prosesnya:
- Berlandaskan bukti kuat dan hukum positif,
- Menggunakan prinsip proporsionalitas, dan
- Menempatkan HAM sebagai parameter utama dalam menegakkan keadilan konstitusional.
Sebab, negara hukum bukan hanya tentang menjaga konstitusi dari ancaman, tetapi juga tentang menjamin kebebasan rakyat untuk hidup dan berpikir secara merdeka di bawah payung konstitusi.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C, Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 28J.
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU MK.
- Aswanto (2022), Webinar Hukum Nasional "Kajian Kritis Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi", Jakarta, Kemenkumham RI.
- Jimly Asshiddiqie (2010), Peradilan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
- Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (2024), Perjalanan Kewenangan Pembubaran Parpol di Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945, www.setneg.go.id.
Penulis : Muhamad Indra WijayaÂ
Profesi: MahasiswaÂ
Instansi : Universitas Sali Al-Aitaam BandungÂ
Instagram: suara_tuhan_
FB: M IndraÂ
Email: indrasmity548@gmail.comÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI