"Pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah."
Artinya, MK tidak dapat membubarkan partai politik secara langsung, melainkan hanya menilai dan memutus permohonan yang diajukan oleh Pemerintah. MK berfungsi sebagai constitutional judge, bukan sebagai "eksekutor politik".
Kedudukan ini menunjukkan prinsip supremasi konstitusi (the supremacy of the Constitution)Â bahwa segala tindakan, termasuk pembubaran partai politik, harus berdasar hukum dan konstitusi, bukan kehendak kekuasaan semata sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Perdebatan Substantif: Antara Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia
Sejak diberlakukannya amandemen UUD 1945, hak politik warga negara menjadi bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang dijamin secara konstitusional.
- Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebut:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
- Pasal 28I ayat (1) menegaskan:
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."
Kedua pasal ini menjadi dasar bahwa pembubaran partai politik tidak hanya menyentuh aspek hukum tata negara, tetapi juga menyentuh inti dari hak asasi manusia  kebebasan berpolitik.
Karena itu, banyak ahli menyebut kewenangan ini sebagai "pedang bermata dua":
- Di satu sisi, MK wajib menjaga integritas negara dan sistem demokrasi dari ancaman ideologi yang bertentangan dengan Pancasila;
- Namun di sisi lain, MK harus memastikan tidak ada pelanggaran hak politik warga negara yang dijamin UUD 1945.
Prinsip HAM dan Uji Proporsionalitas
Dalam konteks hukum internasional dan HAM, pembubaran partai politik hanya dapat dibenarkan jika memenuhi prinsip necessity and proportionality test  atau dalam hukum tata negara disebut asas proporsionalitas.