Mohon tunggu...
Indra  Setiawan
Indra Setiawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Layakkah Kencing Disebut Air Seni?

19 Agustus 2018   17:24 Diperbarui: 19 Agustus 2018   18:23 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya penasaran siapa gerangan yang kali pertama mengkiaskan air kencing menjadi air seni. Menurut saya ini mengherankan. Di mana letak artistiknya buang hajat yang bisa sembarang "dipentaskan". Entah itu berdiri, jongkok, ngangkang, rasanya tidak ada kritikus atau kurator yang mengoreksi.

Begitupun dengan "tempat manggungnya". Acak, sebebas bentuk udel pelakunya. Entah di mal, di semak belukar, di stasiun, di selokan, di mesjid, di gereja, di mana saja.

Pemaknaan istilah rancu ini, kadang saya pikir bagian dari warisan orba yang doyan bikin eufimisme. Misalnya desa miskin jadi desa tertinggal, hutang jadi bantuan, busung lapar jadi malnutrisi, pengangguran jadi tuna karya, gelandangan jadi tuna wisma serta seabrek istilah halus lainnya.

Pikir ini tidak habis mengerti, Si kencing ini punya aib apa sehingga istilahnya harus diperlembut. Di mana letak salah dan dosanya, toh semua orang berkelamin dan tentu saja harus kencing.

Seniman sekalipun rasanya tidak menyebut air kencingnya sebagai air seni. Kencing ya kencing, kadang jernih kadang kuning, kadang mengencingi kadang dikencingi, malah kadang mengencingi diri sendiri.
Seorang kawan suatu saat pernah bertanya,

"Kenapa kalau kedinginan, kita selalu pengen kencing, bolak-balik ke toilet. Kenapa nggak kentut saja sih biar lebih ringan dan praktis?"
"Mungkin karena kelamin punya sensor lebih peka terhadap suhu udara ketimbang pantat," jawab saya sok ilmiah.
"Apa buktinya?"
"Mmmh..."
"Lantas kalau lagi ketakutan, kenapa kencing yang paling reaksioner, kenapa nggak kentut saja biar lebih ringan dan praktis?"
"Mungkin karena alasan posisi, kelamin dan wajah itu dalam posisi linier, keduanya sama persis melihat hal yang ditakuti jadi ia lebih cepat tanggap dibanding pantat yang di belakang," kini saya sok politis.
"Bagaimana kalau yang ditakuti itu ada di belakang kita, tepat di depan mata pantat ?"
"Mmmh... kencing lu sono!" jengkel saya.

Kalau memang harus ada istilah air seni, tidakkah air mani lebih layak terkategori "karya seni" ketimbang air kencing. Ia lebih estetik karena berasal dari penghayatan perasaan terhadap naluri alamiah. Ia lebih futuristik karena tentunya membutuhkan perencanaan matang di mana ia akan dibuang.

Ia eksotik itu sudah pasti. Ia artistik karena memiliki berbagai metode dalam meraih kesempurnaan kepuasan. Jangan tanya soal erotik, fantasi dan cinta, Djenar Maesa Ayu lebih paham dari saya. Saya jadi ingat kesan pertama ketika membaca bukunya, terkencing-kencing. Hehe..

Ah kencing saja kok jadi masalah, saya yakin pasti bermasalah malah beresiko besar, jika berani coba-coba kencing di mimbar mesjid, di gereja, kencing depan presiden atau mengencingi helm polisi.

Loh itu mah nekat bin gila? Tapi faktanya ada, akibat protes tak bahagia ada manusia yang buang kotoran di tempat ibadah, lihat di sini.

Suatu saat nanti, boleh jadi kencing di sembarang lokasi, kondisi dan situasi merupakan bagian dari keisengan, hobi, dan tren tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun