Waktu sudah terkayuh sangat jauh, tapi ingatan tentang masa sekolah masih melekat di kepala Rohman. Terutama pada bayang-bayang kecantikan adik kelasnya, yang membuat mata Rohman enggan berkedip saat adik kelas itu melintas di depan kelas. Rambutnya yang sebahu, sesekali dikibarkan angin yang datang ke koridor, matanya yang lebar dan sangat periang. Bayang-bayang itulah yang terus dirawat Rohman dalam kepalanya. Meski sudah tujuh tahun rentang jarak kelulusannya, tapi kecantikan adik kelasnya itu seperti sebuah mahakarya dari seniman tulen. Abadi, di dalam museum yang dibangun Rohman.
Dia memang pernah berkeinginan menjadi seniman, lebih tepatnya menjadi penyair. Tapi, keinginan itu hanyalah cita-cita yang lekas jadi pudar dari benak Rohman. Ia merasa hanya menyukai kata-kata, tapi tak berbakat meramu dan mencipta kata yang digubah menjadi kalimat-kalimat yang menggetarkan dada.
Selain itu, setelah tak lama lulus dari sekolah. Nasib Rohman terbilang mujur dari teman-teman tongkrongan kelasnya. Ia langsung mendapat kerja menjadi kasir di sebuah minirmarket. Sementara, teman-temannya masih sibuk mencari kesana-kemari, dan ada juga yang banyak mengalami penolakan saat melamar kerja. Ya memang begitulah, nasib adalah kesunyian masing-masing. Jalan setiap orang tak mungkin sama.
Karena kesibukannya bekerja sebagai kasir minimarket, serta tekanan-tekanan penjualan yang harus dihadapi Rohman. Akhirnya, keinginan menjadi penyair itu benar-benar tercoret dari daftar rencana-rencana hidupnya. Puisi-puisi dari para penyair favoritnya, puisi yang dulu ia contek untuk merayu perempuan yang disukainya hampir benar-benar tak lagi mendapat ruang di kepala Rohman. Walau begitu, Rohman masih menyukai kata-kata. Apa lagi, semacam afirmasi untuk mimpi-mimpinya. Terutama, mimpi untuk memiliki Amanda, adik kelasnya waktu sekolah itu.
Â
Tujuh tahun sudah terlewati, selama itu juga Rohman tak pernah berhenti mengamati setiap aktivitas Amanda yang dibagikan melalui instastory. Setiap Amanda mengunggah fotonya dengan pakaian yang modis, rambut yang terkadang masih sebahu dan berponi serta mengenakan kaca mata, Rohman selalu terperanjat dan berbicara dalam hati: "Tuhan, kecantikan Amanda tak pernah alpa menggetarkan dada. Apa mungkin aku dapat menjangkaunya?"
Seringkali nafas Rohman memberat, tatkala foto Amanda terpampang dari layar ponselnya. Terkadang seusai melihat kecantikan Amanda, Rohman menatap dirinya di depan cermin yang terletak dalam kamarnya yang sempit, cat dinding yang mulai terkelupas, kipas angin berdecit dan hanya beralaskan kasur lantai yang sudah tak lagi empuk. Wajah kusut dan bau keringat dari seragam minimarket yang masih melekat di pungunggnya, Memunculkan rasa tidak percaya diri yang semakin pekat di kedalaman hatinya, Rohman merasa dirinya hanya seorang pekerja biasa dengan gaji minimum, terlebih Rohman tak memiliki ketampanan. Hanya kemustajaban yang membuat Amanda sudi menerimanya, begitu pikirnya.
Berpuluh kilometer dari kota di mana Rohman menetap, Amanda bekerja sebagai konten kreator di media ternama. Satu media yang dibangun oleh seorang influencer tersohor seantero negeri. Kesenjangan pendapatan yang amat kentara ini mempertebal rasa tidak percaya diri Rohman. Ia yang hanya terbiasa makan siang di sebuah warteg dengan menu sederhana dan hanya disejukkan kipas angin, tak mungkin menyeimbangi makan siang dengan menu sushi di restoran ber-ac dan berdekorasi elegan. Satu gaya hidup yang Rohman kerap lihat dari instastorynya Amanda.
Rohman memang tak pernah absen mengamati setiap aktivitas Amanda. Namun, ia tak pernah berani mencoba membangun komunikasi meski hanya sekali. Beban-beban beda pendapatan menggetanyangi kepalanya. Â Terkadang, jika bayang-bayang kecantikan Amanda menyusup ke dalam kesadarannya, ia hanya mampu menghibur dirinya dengan suatu kalimat dalam lembaran buku yang pernah ia baca sewaktu sekolah:
"Saat yang kau dambakan terasa jauh dari kenyataan, betapa indah dan bahagia menghidupkannya di dalam tidur"
Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Rohman selain ketika ia menggunakan waktunya untuk tertidur. Rohman selalu yakin pada kata-kata yang pernah ia baca;
"satu mimpi lebih kuat dari seribu kenyataan"
Saat dalam kondisi tidur, tak ada rintangan yang menghalangi kebersamaan Rohman dengan Amanda. Dengan tertidur, Rohman bisa mewujudkan segala hal yang paling  mungkin dilakukan ketika bersama Amanda, menggenggam erat tangannya, memeluk Amanda penuh kehangatan, saling memberi perhatian melalui pesan, meski saat mata itu kembali terjaga segalanya menjadi tinggal kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
**
Di suatu malam yang dilatari bintang-bintang dan cahaya bulan yang penuh. Rohman baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Seperti biasa, sebelum berangkat menuju pulang. Di teras minimarket tempatnya bekerja, Rohman terlebih dulu menggunakan waktunya untuk sekadar membakar sebatang kretek, sambil meminum kopi botolan. Baginya, itu semacam relaksasi sederhana dan salah satu cara bertahan dari rasa letih pada nasib yang begitu-begitu saja.
Setelah sebatang kreteknya habis terbakar dan dihisap, kopi botolan yang sudah habis. Rohman bersiap-siap untuk segera melaju menuju rumah. Sebelum itu, tak lupa ia terlebih dulu memasang alat pelantang telinga dan memutar lagu dari ponselnya, barulah kemudian ia bergegas menarik gas kendaraan roda duanya. Kendaraan yang pajaknya telah mati dua tahun.