Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fan Fiction] I Can Hear Your Heart

3 Agustus 2022   21:08 Diperbarui: 3 Agustus 2022   21:57 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Ibu Yang Tengah Koma | Sumber Kumparan.com

"Rik, cepat panggil suster atau dokter. Kondisi ibu ngdrop"

Aku seakan mendengar suara Albert, anak pertamaku yang berteriak dengan panik. Sebuah perintah yang seakan tak ku mengerti

Albert, anak sulung. Usianya 39 tahun bertubuh tinggi kurus dengan wajah oval dan brewokan. 

Riko, anak ketiga dan paling bungsu. Usianya 27 tahun, tubuh lebih pendek dari Albert dengan badan yang berisi. Dirinya satu-satunya yang belum menikah dari ketiga anakku. 

Pandanganku terasa gelap seakan berada di tempat tanpa ada sinar lampu. Bibirku tak mampu terucap. Ada apa ini? Aku bertanya dalam hati. 

"Mungkinkah sesuatu terjadi padaku? "

Dalam samar-samar aku mendengar suara langkah. Perlahan suara langkah itu terasa kian jelas seakan datang mendekat ke arahku. 

"Riko, mana dokternya" Suara Albert terdengar lagi. Suaranya yg terdengar serak begitu khas di telingaku. 

"Ini bang, sudah datang"

Ah, itu suara Riko. Anak bungsu ku. Aku bingung kenapa aku hanya mendengar suara anak-anakku? Mengapa mataku terasa berat untuk ku buka

"Dok, ibu kejang-kejang dari tadi. Tolong dok" Suara Albert terdengar jelas seakan ia berdiri tepat di sampingku.

Aku merasa tanganku terasa dingin. Semakin dingin ketika ada yang berusaha menekan setiap pergelangan tangan. 

"Sus, siapkan segera defribrilator"

Itu suara dokter Rudi, aku kenal suara itu. Dokter keluarga yang selama ini selalu jadi andalan ketika keluarga ku sakit. Mengapa dia ada disini? Ada apa denganku? 

Mencoba mendengar dengan jelas, aku mendengar dokter Rudi mengatakan aku terkena sudden cardiac arrest. 

"Oh tidak, mungkinkah aku tengah di rumah sakit?"

Inikah alasan mataku terasa gelap dan hanya mendengar suara-suara orang di sekitarku.

Sebenarnya tak ada satupun yang sadar dan tahu bahwa aku mampu mendengar apa yang mereka bicarakan. Keluargaku pun tak tahu tentang kelebihan ini yang membuatku berbeda dengan yang lain. 

Aku mampu mendengar apa yang pikirkan dalam hati. Kelebihan yang seakan menutupi kekurangan ku yang terlahir sebagai sosok bisu. 

Perlahan aku mencoba memastikan siapa saja yang ada di sekitarku. 

Albert, anak pertamaku. Suaranya begitu terasa kuat. Sepertinya dia berada tepat di samping kiriku.

Rini, menantu ku. Suara isak tangisnya terdengar jelas. Dari suara tangisnya, aku menerka ia berada tepat di samping Albert, suaminya. 

Dokter Rudi dan seorang suster ada di samping kananku. Aku bisa mendengar jelas instruksi-instruksi yang dokter rudi berikan pada susternya. Dari suaranya, terdengar sedikit serius. 

Aku sempat mendengar suara Riko, anak bungsuku. Namun semenjak beberapa menit lalu, seakan tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Namun aku yakin dia masih ada di ruangan ini. 

5 orang ada di sekitar diriku saat. Oh tidak, aku mendengar suara 1 orang lagi. Suara tangisan dari orang yang ku sayangi. 

Suara tangisnya begitu kecil tapi ku yakin itu suara Cindy, cucu ku. Cucu perempuanku berusia 9 tahun dari anak keduaku, Sonya. 

Gadis cantik berambut panjang, bermata coklat. Aku selalu mengepangi rambut panjangnya ketika berangkat sekolah. Bahkan aku tahu betul baju kesayangannya, dress panjang motif bunga mawar. 

Cindy adalah penyemangatku selama ini. Bagaimana tidak, ia adalah satu-satunya kenanganku terhadap putri kesayanganku. 

Hatiku terasa sesak setiap melihat wajah cucuku. Menjadi yatim piatu sejak berusia 5 tahun bukanlah takdir yang menyenangkan. 

Putriku dan suaminya telah tiada 4 tahun lalu karena kecelakaan di Bandung. Mukjizat ketika hanya Cindy yang bertahan hidup ketika ayah, ibu dan baby sitter-nya meninggal saat mobil menantuku masuk ke dalam jurang. 

Tiba-tiba rasa sedih muncul seketika melandaku. Pasti cucuku terlalu sedih dan khawatir hingga suara tangisnya terdengar lirih hingga aku terlalu susah mendengar. 

Deggg, Deggg, Deggga ku rasakan sebentuk hentakan di dadaku. Alat defribrilator ini memberikan efek kejut di tubuhku. Sepertinya tubuh ini sedang tidak baik-baik saja. 

Ku tak berdaya hanya bisa mendengar setiap kata kepanikan, kesedihan dan instruksi tanpa bisa bertanya. Hanya bayang-bayang gelap yang bisa menemaniku saat ini. 

"Dok, ibu masih bisa diselamatkan kan dok? " Suara Albert kembali ku dengar

Tak ada suara balasan dari Dokter Rudi. Sepertinya ia begitu fokus, aku bisa mendengar isi hatinya. Ia berharap aku untuk bisa cepat memberikan respon dari alat pemacu jantung yang dari tadi memberikan hentakan di dada. 

Aku muak dengan drama ini. Muak dengan kepalsuan orang-orang di sekitarku. 

Albert sedari tadi begitu memperhatikanku karena hanya suaranya yang terlalu sering terdengar saat ini. Nyata nya aku tahu betul isi hatinya. 

Aku bisa membaca hati orang lain tanpa mereka sadari. Kelebihan yang tidak dimiliki orang lain sekaligus menutupi kekuranganku selama ini. 

Terlahir sebagai bisu bukanlah yang ku inginkan. Aku lupa entah seberapa banyak hinaan dan perudungan yang ku terima. Aku sepertinya memang sengaja melupakannya. 

Albert, bahkan pernah merasa malu dengan kekuranganku. Memang ia tidak mengatakan padaku, namun isi hatinya terbaca jelas. 

Setiap kata yang ia pendam, umpatan hingga kemarahan dirinya memiliki ibu yang tak sempurna. 

Riko? Dirinya tak jauh beda. Aku tahu dirinya stres dengan hutangnya yang berjibun diluar sana. Hobinya berjudi membuatnya berusaha menghindar bahkan memilih tinggal jauh dari keluarga. 

Ia bahkan diam-diam berharap aku segera mati. Bahkan barusan aku masih mendengar hatinya berharap dokter tak perlu menyelamatkanku. 

Pikirannya saat ini hanya warisan saja. Ia tahu selama aku masih hidup, warisan tak kan mampu ia miliki atau dijual. 

Hanya Sonya, anak gadisku yang memahami kondisiku. Sayang ia lebih dulu pergi bersama suaminya karena kecelakaan 4 tahun silam. Cindy, cucuku lah yang kini jadi alasan kenapa aku berjuang untuk hidup. 

"Oma, jangan pergi oma. Jika Oma pergi, aku bagaimana Oma? "

Oh tidak, aku barusan mendengar suara hati cucuku. Suara tangisnya memang ia sembunyikan tapi suara hatinya bisa ku dengar dengan jelas. 

"Tuhan, beri aku kesempatan. Biarkan aku menyelesaikan tugasku terakhir kalinya" Saat ini hatiku hanya bisa berdoa berharap ada keajaiban

Hati ini masih terasa pedih, aku masih ingat bagaimana liciknya Albert bersama istrinya yang diam-diam ingin menaruh cucu kesayanganku di panti asuhan jika nanti aku mati. Betapa teganya mereka, sungguh hatiku teriris setiap mereka berbisik-bisik tentang niat itu. 

Aku mendengar setiap kata dalam hati, bahkan setiap ketakutan hingga kesedihan terkecil aku mampu mendengarnya.

***

Alat pemacu jantung terasa menyentuh dadaku. Aliran listrik mengalir di sekujur tubuh. Aku merasa dada ini seperti mendapatkan hentakan hebat.

Isak tangis Cindy kian terdengar jelas. Doa dalam hati yang setiap kata berharap kesembuhanku begitu mengenyuhkan batin. 

"Tuhan, beri aku kesempatan sekali saja. Ijinkan aku lakukan hal penting terakhir kalinya. Setelah itu, cabutlah nyawaku ini"

Kembali ku berdoa dalam gelapnya suasana. Doa yang terucap bersama dengan suara getir Dokter Rudi dan harapan suster-suster di sampingku.

Deggg, aku mendengar ada detak jantung dalam kegelapan. Apakah Dokter Rudi berhasil, apakah Tuhan mengabulkan doaku?

"Alhamdulillah" Suara Dokter Rudi dan Suster membuyarkan rasa penasaranku.

"Ibu berhasil di selamatkan", Dokter Rudi berkata penuh semangat pada anakku.

Aku mendengar ucapan bahagia dari mulut anak-anak dan menantu, tapi aku juga mendengar kekecewaan dalam hatinya.

"Kenapa ibu tidak meninggal saja? Kenapa dokter rudi menyelamatkan ibu? kenapa kenapa dan kenapa. Aku mendengar jelas isi hati anak dan mantuku

"Terima kasih Tuhan, Engkau kabulkan harapanku. Ada sesuatu yang harus ku selesaikan sebagai orang tua"

Kelak ketika ku siap membuka mata ini, mereka akan dapatkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 

---

Cerpen terinspirasi dari Serial I Can Hear Your Voice

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun