Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukit Sidang

7 Agustus 2021   06:30 Diperbarui: 7 Agustus 2021   06:44 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Datuak Sinaro mendengar semua pembicaraan itu. Bukan rahasia lagi, kehadiran tentara dalam jumlah banyak itu merugikan penduduk. Mereka bisa dengan cepat meminta diadakan dapur umum. Kalau tidak sabar, mereka mengambil ayam, kambing, bahkan sapi dan kerbau milik penduduk.

"Ngutang, ya!" Itu kata mereka.

Penduduk tidak bisa melawan, membiarkan saja. Surau-surau yang biasanya penuh makanan di waktu Maulid Nabi, kini hanya ditemani lapek bugih dan kerupuk jariang. Lemang semakin jarang. Apalagi singgang ayam.

Ikan larangan yang dipelihara penduduk selama bertahun-tahun juga tak luput dari sasaran para tentara. Awalnya, seorang tentara menembaki ikan itu. Mati. Lalu ikan itu dibakar dan dimakannya. Keesokan harinya, tiga orang tentara mati, lima belas orang sakit. Komandan pasukan panik. Penduduk dikumpulkan, dirazia, dikirain ada yang menaruh tuba.

Untunglah, seorang Kapten dari Siliwangi paham dengan penjelasan penduduk. Ikan larangan tidak boleh dimakan. Kecuali suluahnya dicabut. Yang bisa mencabut, Tuanku Mudo Panjang dari Sungai Geringging.

Tuanku itu dijemput. Dia membaca doa-doa. Lima belas tentara yang sakit langsung sembuh.

"Silakan tuan-tuan memakan ikan larangan ini, tapi yang sudah lewat batas itu dan batas itu, baik di hilir dan mudiknya," jelas Tuanku Mudo Panjang.

Ia menunjuk daun pelepah kelapa yang berwarna kuning. Ia juga menyibakkan dahan-dahan rumpun kayu pimpiang.

Komandan pasukan meminta penduduk membuat batas dari batu-batu. Tapi di sela batu, dikasih aliran air, biar ada ikan yang ke hilir atau ke mudik. Begitulah. Setiap hari, ada saja tentara yang piket menjaga batas itu, lalu berteriak bila melihat ada ikan yang melewati batas. Hujan lebat di hulu, banjir, mereka nanti dengan harap. Banjir selalu membawa sejumlah ikan melewati batas larangan.

Tapi tidak di hari yang sibuk ini. Sudah lama hujan tak turun. Menanti banjir seperti berharap siang hadir di malam hari. Tak ada yang tahu apa penyebabnya. Kering.

*** Bersambung ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun