Begitulah. Kemerdekaan Indonesia mengubah nasib kedua lelaki berbeda kulit itu. Yang bermata sedikit sipit menjadi pengusaha kaya di Osaka, Jepang. Hubungan dagang dengan pengusaha Indonesia kerap terjadi. Lelaki legam yang berenang bagai lumba-lumba itu menjadi rekanan. Â Nostalgia pelarian sebelum perang berakhir membawa mereka mengambil usaha di bidang pelayaran.Â
Di saat kembali bertemu di atas kapal pesiar, timbul niat mengunjungi pulau-pulau yang mereka huni selama dua tahun bersembunyi dari kejaran gerilyawan republik. Lelaki kaya itu ikut mengajak anak-anak dan istrinya, serta kerabat dekat lain. Begitu juga sahabat Jepangnya.Â
Tapi malang. Gelombang laut ganas menghempaskan kapal pesiar mereka. Seluruh penumpang tenggelam, lenyap di telan lanun. Ajaib, lelaki itu selamat. Sepotong papan membawanya ke pulau yang hendak mereka tuju.Â
"Berapa banyak lagi kapal-kapal yang hendak kau pecahkan? Berapa nyawa lagi yang hendak kau telan?"
Lelaki tua itu kembali bergumam. Matanya menatap ke lautan lepas yang sedang menari. Bagai raksasa yang sedang bicara lewat riak dan gelombang. Tak ada kelap-kelip lampu nelayan, baik payang, atau bagan. Pulau itu paling terpencil dibanding pulau-pulau lain.Â
Pagi tadi, sepotong papan terdampar di pantai. Lelaki itu memungutnya. Selembar kain putih terselip di antara paku-paku dan retakan-retakan papan itu. Seolah sedang berbicara tentang cerita manusia yang memakainya. Derita dari penumpang-penumpang yang dibalut dan dijaganya.Â
Dan orang-orang yang menyerah. Dengan bendera putih.Â
Kain putih yang mengingatkan lelaki pada masa pendudukan. Kain putih yang disangkutkan pada sepotong ranting ketika serdadu Sekutu menemukan mereka berdua. Kain putih yang menyelamatkan mereka. Tak ada panggilan the ghost terhadap mereka dari serdadu-serdadu muda berhidung mancung itu. Kain putih yang membawa mereka ke khalayak Indonesia, ketika terjadi pertukaran tawanan perang di bulan Desember 1949.Â
Keduanya menjadi pahlawan.Â
"Apa yang harus kulakukan untukmu, wahai lautan? Tiap tahun kau kirimkan papan demi papan ke tempatku? Papan-papan yang membawa kenangan. Papan-papan yang menghanyutkanku dalam penyesalan dan perih batin yang berkepanjangan. Kau pentaskan lagi drama berulang dari kapalku yang tenggelam. Melumat anak-anakku! Menelan istriku, sahabatku, rekan-rekanku. Kau siksa aku dengan papan-papan itu!"Â
Lelaki keriput itu mendesis. Kulit liat yang bersimbah matahari dan air laut, seakan melepuh.Â