Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Pendekar Itu Profesi, Kependekaran Itu Ilmu!!!

29 November 2020   00:55 Diperbarui: 2 Desember 2020   04:42 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#BukanUntukDitiru 

Dari empat calon gubernur Sumatera Barat yang maju kontestasi, bisa disebut hanya terdiri dari dua klaster. Yakni, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan profesional. ASN menyangkut birokrasi sipil, bahkan termasuk kepolisian.

Warga non militer, ya sudah pasti sipil. Pensiunan militer? Ya sipil. Pekerja di lingkungan militer? Ya, sipil juga.

Setiap calon gubernur Sumbar sudah pasti seorang yang profesional. Apa yang disebut profesional? Tentu memiliki keahlian yang tak dimiliki sebagian besar masyarakat. Tanpa profesionalitas, seseorang tidak mudah lolos ke dalam kerucut atas pertarungan keterpilihan.

Profesionalitas dalam dunia moderen tentu tergabung dalam organisasi profesi. Seorang sejarawan, tergabung dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia. Seorang Insinyur, tergabung dalam Persatuan Insinyur Indonesia. Seorang petani? Belum tentu bergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Saya tentu yakin, setelah pensiun dari dinas kepolisian, seorang Fakhrizal tidak lagi menyebut diri sebagai pensiunan. Tentu beliau memiliki profesi diluar menegakkan hukum. Begitu juga Nasrul Abit, Mahyeldi Ansyarullah dan Mulyadi.

~~ Baru terpikir oleh saya, dalam politik ada yang disebut sebagai satu dan dua kata atas nama seseorang. Dua orang calon gubernur hanya cukup dengan satu kata: Fakhrizal dan Mulyadi. Dua orang lagi, dua kata: Nasrul Abit dan Mahyeldi Ansharullah.  Itu jika saya telusuri wikipedia. Penambahan suku atau marga di belakang nama, apakah sudah tak dibenarkan lagi? Dulu, almarhum Husni Kamil Manik mengizinkan saya mencantumkan nama Indra Jaya Piliang dalam kertas suara ~~

Bagi saya, keempat tokoh ini sudah mewakili ketinggian pencapaian profesi, karier, pun kecimpung dalam penanganan urusan pemerintahan. Atau katakanlah dalam wadah yang wah: sebagai abdi negara.

Sejak militer dipisahkan dari kepolisian, kedua institusi dituntut profesional. Sebagai salah satu staf pengajar (tidak tetap) di sekolah tinggi militer, pemberi materi di Badan Intelijen Negara, penyusun kurikulum pendidikan politik di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), anggota Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dan segala-macam riset, buku, makalah dan tulisan terkait bidang pertahanan dan keamanan, tentu saya mengetahui bagaimana konduite yang disusun bagi seseorang untuk menjadi perwira, sampai jenderal.

Begitu juga dalam tugas selama hampir lima tahun dalam Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional Republik Indonesia, penyusun naskah akademik RUU Pelayanan Publik, penyusun naskah akademik RUU Penaggulangan Bencana Nasional dan macam-macam sejak dua dekade lalu, tentu segala galemak-peak dalam regulasi sudah saya hadapi.

Yang kini dibutuhkan adalah para pemimpin yang mampu menggerakkan segala macam aturan dari tingkat konstitusi hingga peraturan nagari atau peraturan desa itu menjadi sesuatu yang hidup. Tak terkecuali dalam arah pengembangan profesi di tengah-tengah masyakarat akar umbi. Profesi yang bisa dicapai lewat akademi atau pendidikan vokasi.

Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara yang saya pimpin sudah punya sejumlah kurikulum untuk menjadi seorang gerilyawan.

Apa itu gerilyawan?

Minimal punya pengetahuan standar tentang apa yang disebut sebagai kemerdekaan 100 persen. Kemerdekaan dari feodalisme, imperealisme, plus mistisisme. Feodalisme dalam artian dalam dan luas, tidak hanya dari sisi kepemilikan atas tanah, tapi sesuatu yang turun temurun lain, seperti genetika, julukan, gelar, hingga tempat di dalam masyarakat manusia sekarang dan nanti. Sejak kapan tali darah disembah, sebagai contoh, padahal anak-anak Adam dan Hawa sendiri sudah saling bunuh.   Sejak kapan superioritas ditentukan oleh warna kulit, apatah lagi jenis pilihan baju seseorang?

Relegiusitas tentu menjadi lentera dalam lanskap kehidupan seorang gerilyawan. Itu tidak semata dalam artian formal, tetapi holistisitas alias keseluruhan. Ketundukan seseorang tak dinilai dari seberapa banyak jumlah kerumunan yang melingkari, tetapi seberapa utuh, syahdu, dan sehat suasana kebatinan hingga fisiknya ketika menjalankan amanat-amanat Illahiyah. Sesuatu yang transendental, tak bisa diurai akal, ilmu, pengetahuan, apalagi hanya sekadar cuitan-cuitan atau oral-oral viral.

Nah, dalam kerangka itu, pertanyaan berikut adalah profesi seperti apa yang hendak dikembangkan oleh seorang Gubernur Sumatera Barat, apabila terpilih kelak?

Terus terang, saya lebih banyak pesimis, ketimbang optimis. Jika profesi itu dijawab lagi sesuai textbook yang ada dalam lingkaran otak dalam apa yang disebut pengetahuan umum, yakinlah bahwa yang didapat adalah gubernur yang birokrat, atau birokrat yang gubernur. Atau profesional yang gubernur, atau gubernur yang profesional. Bukan gubernur yang out of the box

Dari keempat calon yang ada, tentu saya berhak mengajukan penilaian. Nasrul Abit menurut saya memiliki sesuatu yang out of the box itu. Itu jika ia bicara sendiri, tidak diwakili oleh tim suksenya. Tak bicara juga sudah bisa dipelajari dari riwayat hidupnya. Pun apa yang hidup dalam riwayatnya

Ilmu tenaga dalamnya, jurus-jurus silatnya, energi pembelaan terhadap warga, hampir tak mengenal rasa takut. Walau, tentu ia adalah orang yang layak menjadi penakut, berhubung bekerja dalam bidang kesehatan masyarakat, bersandar kepada obat dan segala macam alat perlindungan diri. Tentu berbeda sekali ketika ia terjun ke publik.

Namun, saya tentu tak melihat apa yang saya bisa "raba" itu tersusun dengan rapi dan baik. Walau, sudah disampaikan dalam sejumlah laporan yang saya simak.

Singkat saja, profesi yang bisa dikembangkan Nasrul Abit seandainya kelak menjadi gubernur terpilih - walau di banyak survei ini sesuatu yang hampir mustahil - adalah  Ilmu Kepandekaan dan Julukan Pandeka sekaligus. Universitas Kepandekaan bisa saja dibentuk, tetapi minimal satu jurusan atau bidang studi. Tentu berikut kurikulum kependekaran.

Tugas kepandekaan di Ranah Minang dewasa ini menurut saya adalah segera menghapus julukan orang Minang sebagai sumber dari nilai-nilai intelektualitas dan sekaligus relegiusitas. Tanpa kepandekaran, nilai-nilai intelektualitas dan relegiusitas tak bakal bisa ditegakkan.

Silakan telusuri buya atau tuanku atau syech yang hebat-hebat di abad-abad lampau, teurama di abad ke 19 dan 20. Satu yang pasti mereka pelajari adalah jurus-jurus dalam silat. Jurus-jurus yang bersumberkan kepada Al Qur'an. Langkah Alif, Langkah Ba, Langkah Ta, dan hingga apa yang dikenal sebagai Langkah Empat, Kato Nan Ampek, dan seterusnya.

Apa dasar dari undang-undang nan dua belas yang dinukil oleh Datuk Ibrahim Tan Malaka? 

Dengan apa datuk-datuk dan tuanku-tuanku asal Ranah Minang menjelajahi Borneo, Celebes, Nusa Tenggara, hingga pulau-pulau di Timur dalam membawa ajaran Islam? Apa mereka kawin mawin dengan keluarga kerajaan, sebagaimana dilakukan oleh pembawa ajaran Islam lain dari tanah Arab yang tak meninggalkan nama-nama leluhur mereka.

Tentu, kepandekaran, serta kesaudagaran dalam pertarungan ekonomi di bandar-bandar

Apapun, gagal sekalipun menjadi seorang Gubernur Sumatera Barat, Inshaa Allah, saya bersiap berlatih satu jurus saja dengan Nasrul Abit.

Yang lebih serius? Mendirikan perguruan silat di Ranah Minang, tentu!!!

Manjada Wajada!!!

Jakarta, 29 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun