"Degup jantungmu yang membawaku kesini. Aroma daun enau dan tembakau hutan menjadi penunjuk jalan."
Putri datang bersama kusir bendi, sepagi ini. Tentu, ia kurang tidur. Kembali, keduanya duduk beralaskan jerami, mengelilingi kota. Kota yang kusam itu kian temaram.
Manusia-manusia yang ada berjalan seperti robot, laksana mesin, menuju sekrup kehidupan masing-masing, tak hirau pada lingkungan. Sebuah kota selalu terlihat bagai pusara bagi manusia di mata Kelana.
Setiap jalan dipasangi portal. Bunyi sirene di waktu siang dan malam memecah gendang telinga. Kota ini menyesatkan setiap orang yang tidak punya tujuan.
Tidak terdengar lagi ada ringkik kuda pada setiap lorong kota. Pohon-pohonpun meranggas, tumbang satu-satu. Asap kendaraan telah membunuhnya. Pemimpin yang menyerupai serdadu menjadikan pohon-pohon itu sebagai sasaran-sasaran peluru.
Dengan alis mata, Putri memberi isyarat kepada kusir bendi. Kembali dan kembali lagi mereka ke rumah itu, menuju pintu berwarna putih.
"Warna putih ini berasal dari selendang para malekat. Kamu tahu, aku melihatmu dari pintu ini. Kamu bisa melihat gelap yang terpekat, terang yang benderang. Gelap dan terang itu bisa membutakan matamu. Jubah hitammu pada siang yang diselimuti mendung itu memantulkan jiwa resahmu.
Lihatlah ke segala penjuru. Mungkin kau temukan semua yang kau cari, di sini," kata Putri itu, sambil mengecup lagi tangan sang Kelana.
"Putri, jangan kecup tangan hamba. Tangan ini penuh lumpur dan jelaga.."
"Tidak, kau adalah raja. Aku tahu sejak semula."
Kelana tercekat. Ia tak siap dengan semua kehormatan ini. Ia bisa mati diberlakukan seperti ini. Sebab, ia adalah kelana jelata. Tidak akan pernah ada mahkota di kepalanya.
"Dari pintu ini, kau bisa temukan kudamu. Lihatlah. Tataplah. Bukalah. Masukilah.." ujar Putri itu, seperti berharap.