Oleh : Mohamad Indra Israqi
Mahasiswa Magister Universitas Indonesia
Keputusan pemerintah Indonesia untuk membeli jet tempur Chengdu J-10 dari Tiongkok menjadi salah satu langkah paling menarik dalam modernisasi pertahanan nasional beberapa tahun terakhir.Langkah ini menandai babak baru dalam strategi militer Indonesia, yang selama ini dikenal mengandalkan alutsista dari Barat dan Rusia.Menurut laporan Asia Times (17 Oktober 2025), pemerintah Indonesia berencana membeli sekitar 42 unit J-10 dengan nilai kontrak mencapai sekitar USD 9 miliar. Jet tempur ini diproduksi oleh Chengdu Aerospace Corporation, dan menjadi tulang punggung Angkatan Udara Tiongkok (PLAAF).Meski belum ada konfirmasi varian pasti—apakah J-10B atau J-10C—pemerintah menyebut langkah ini bagian dari diversifikasi sumber alutsista dan modernisasi kekuatan udara nasional.Namun, di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembelian ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan Indonesia, atau justru sebuah taruhan besar dengan konsekuensi geopolitik dan teknologis jangka panjang?Alasan Strategis di Balik Pembelian J-10Modernisasi pertahanan udara Indonesia memang mendesak. Sejumlah pesawat tempur TNI AU seperti F-5 Tiger dan sebagian armada Sukhoi Su-27/Su-30 telah menua. Sementara itu, pengadaan jet Dassault Rafale dari Prancis (sebanyak 42 unit) masih dalam tahap bertahap hingga 2030-an.Dalam konteks itu, pembelian J-10 dipandang sebagai langkah cepat untuk mengisi kekosongan kekuatan udara.Menurut Indonesia Business Post (Oktober 2025), Tiongkok menawarkan paket menarik dari sisi harga, jumlah unit, dan kesiapan operasional cepat, dibandingkan produk Barat yang cenderung lebih mahal dan berproses lama.
Selain itu, ada pertimbangan diversifikasi sumber pertahanan. Dengan memiliki alutsista dari berbagai negara—Prancis, Rusia, Korea Selatan, dan kini Tiongkok—Indonesia mencoba menghindari ketergantungan tunggal pada satu blok kekuatan.
Kebijakan ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, di mana Indonesia tidak ingin sepenuhnya bergantung pada Barat maupun Timur.
Aspek Geopolitik dan Diplomasi
Langkah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik Asia Tenggara.
Pembelian alutsista dari Tiongkok oleh Indonesia dapat dibaca sebagai upaya menyeimbangkan kekuatan regional sekaligus memperkuat posisi tawar di tengah dinamika Laut China Selatan.
Namun, ada juga dimensi diplomatik yang sensitif.
Sejumlah pengamat seperti The Diplomat (18 Oktober 2025) menilai bahwa keputusan ini dapat menimbulkan interpretasi baru dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain yang memiliki sengketa dengan Tiongkok.
Di sisi lain, Indonesia tetap berusaha menegaskan bahwa pembelian ini bersifat teknis pertahanan, bukan sinyal politik berpihak.
Kepada media, Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa keputusan membeli J-10 “tidak mengubah posisi politik luar negeri Indonesia,” melainkan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udara nasional dalam menghadapi ancaman modern.
Risiko dan Tantangan
Di luar aspek strategi dan diplomasi, terdapat sejumlah risiko yang perlu diwaspadai.
Pertama, soal interoperabilitas.
TNI AU kini mengoperasikan berbagai jenis jet tempur dari negara berbeda: F-16 (AS), Sukhoi (Rusia), Rafale (Prancis), dan nanti J-10 (Tiongkok).
Perbedaan sistem avionik, radar, hingga logistik suku cadang bisa menimbulkan kompleksitas operasional dan biaya perawatan tinggi.
Kedua, soal transfer teknologi.
Seperti dicatat IndoAviation Asia (2025), belum ada kepastian sejauh mana pembelian J-10 akan disertai program Transfer of Technology (ToT) atau kerja sama industri pertahanan nasional.
Tanpa ToT, manfaat jangka panjang terhadap kemandirian industri pertahanan Indonesia akan terbatas.
Ketiga, risiko ketergantungan baru.
Diversifikasi memang penting, tetapi mengandalkan teknologi militer dari Tiongkok juga membuka potensi ketergantungan baru dalam hal perawatan, pelatihan, dan sistem persenjataan.
Dalam jangka panjang, hal ini perlu diimbangi dengan penguatan kapasitas lokal agar tidak menimbulkan ketergantungan politik atau teknis.
Apakah Ini Langkah Strategis atau Taruhan Besar?
Jawabannya bisa dua-duanya.
Dari sisi strategi militer, pembelian J-10 jelas memperkuat kemampuan TNI AU dalam jangka pendek, terutama untuk penguasaan wilayah udara dan penegakan kedaulatan nasional.
Namun, dari sisi manajemen pertahanan jangka panjang, keputusan ini baru bisa dinilai sukses jika disertai:
Integrasi sistem yang baik antarplatform, termasuk pengembangan jaringan komando dan pengendalian udara yang mendukung operasi J-10 secara efektif.
Transparansi penggunaan anggaran, agar pengadaan besar ini tidak menimbulkan beban fiskal yang tidak seimbang.
Upaya nyata membangun kapasitas teknologi nasional, baik melalui kerja sama industri pertahanan maupun pelatihan sumber daya manusia.
Selain itu, untuk mengoptimalkan potensi J-10, Indonesia juga perlu mempertimbangkan pengadaan sistem peringatan dini udara (AWACS) seperti yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Pakistan.
Sistem ini memungkinkan deteksi dini pesawat musuh dan koordinasi tempur udara yang lebih efisien — sesuatu yang menjadi kunci keberhasilan integrasi armada J-10 di negara lain.
Tanpa dukungan sistem sejenis, efektivitas jet tempur modern seperti J-10 bisa berkurang, karena keterbatasan dalam cakupan radar dan koordinasi lintas armada.
Jika aspek-aspek tersebut dapat diperhatikan dan dijalankan secara konsisten, pembelian ini justru berpotensi menjadi lompatan strategis bagi kemandirian pertahanan udara Indonesia.
Dengan integrasi sistem yang kuat, transparansi anggaran, serta dukungan teknologi dan pelatihan berkelanjutan, kehadiran J-10 dapat menjadi pondasi penting menuju kekuatan udara yang modern, tangguh, dan berdaulat.
Kesimpulan
Pembelian jet tempur J-10 oleh Indonesia adalah keputusan berani dan berimplikasi luas.
Ia menunjukkan bahwa Indonesia mulai bergerak ke arah pertahanan yang lebih modern, fleksibel, dan terbuka terhadap berbagai mitra internasional.
Namun, seperti setiap langkah besar dalam dunia pertahanan, keberhasilannya akan sangat tergantung pada implementasi, transparansi, dan strategi jangka panjang.
Apakah ini langkah strategis atau taruhan besar?
Hanya waktu, dan kebijakan konsisten di sektor pertahanan, yang akan menjawabnya.
Referensi:
Asia Times – “Vigorous Dragon: China’s J-10C Fighter Ready to Roar in Indonesia” (17 Oktober 2025)
The Diplomat – “Indonesia Confirms Plans to Acquire Chinese-Made J-10 Fighter Jets” (18 Oktober 2025)
Indonesia Business Post – “Indonesia to Purchase China’s J-10 Fighter Jets, Sjafrie Confirms Plan” (Oktober 2025)
IndoAviation Asia – “Indonesia to Procure J-10 Fighters: Budget and Industrial Cooperation Under Review” (2025)
The Aviationist – “Indonesia Reportedly Eyes 42 Chengdu J-10C Fighter Jets” (17 Oktober 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI