Jika Bima harus menyusuri Setra Gandamayit dalam lakon pewayangan untuk menemukan hakikat hidup, maka guru honorer, nakes honorer, dan teknisi non-ASN harus menyusuri kelir yang tak pernah diangkat, panggung yang tak pernah terbuka.
Mereka Tak Minta Dimuliakan Hanya Diakui
Wayang tanpa kelir tak pernah menuntut tepuk tangan. Mereka tak haus jabatan. Tapi mereka menuntut keadilan: bahwa pengabdian dibalas pengakuan; bahwa bekerja untuk negara berarti menjadi bagian dari negara.Â
Jika negara masih menutup kelir bagi mereka, maka lakon ini bukan lagi kisah pewayangan.
Lakon ini telah menjadi tragedi nasional, di mana rakyatnya mengabdi tapi tak diakui, bekerja tapi tak dicatat, hidup tapi dianggap tak pernah ada.
PenutupÂ
Wayang tanpa kelir bukanlah bayangan kosong. Ia adalah bayangan hati nurani.
Bayangan yang muncul dari peluh rakyat kecil, dari loyalisme yang tak ditulis dalam peraturan, dari nama-nama yang hilang di tengah data digital birokrasi.Â
Kini, tinggal kita yang memutuskan:Â
Akan kita buka kelir itu dan tampilkan wajah-wajah sejati republik,
atau terus menonton lakon kosong, diisi tokoh yang tak pernah berkeringat di panggung kehidupan?
Terima Kasih
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI