Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Deschooling, Sakola Motekar

3 Agustus 2020   22:57 Diperbarui: 4 Agustus 2020   08:59 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

an disinilah sebenarnya peran 'warga' merekalah sebenarnya guru-guru sekolah warga, mereka yang setiap hari bergelut dengan keahlian mereka, memberi ruang belajar supaya warga lain yang tertarik dapat ikut belajar keahlian, tidak melulu harus lewat Sekolah formal yang berbayar dan terkadang menyeragamkan siswanya. 

Ekosistem Belajar

Berpedoman kepada realitas sekeliling inilah di kemudian hariS akola Motekar merebut ruang belajar anak-anak Sadananya. Belajar tidak lagi kaku di sekolah tetapi bisa di saung, di teras, bisa di bawah pohom bambu seenaknya. 

Belajar tidak harus berseragam, apel, tapi benar-benar fokus kepada hal-hal yang disukai, yang dibutuhkan, sampai nanti hal-hal yang bisa digunakan untuk mendorong daya hidup si anak. 

Belajar di Sakola Motekar tidak lagi soal angka dan ranking, tapi tumbuh bersama, menikmati kebersamaan, saling tukar pendapat secara terbuka, saling mengisi. Ini yang menurut saya Sakola Motekar ini membentuk inovasi baru, membentuk sebuah Ekosistem Belajar yang lebih mengakomodasi kebutuhan anak -anak.

Tak hanya soal berbagi ilmu, di Sakola Motekar anak-anak kemudian diajak membuat kesepakatan belajar. Ini menurut saya juga menarik, selama ini kurikulum selalu seperti paket yang harus diterima anak didik, tanpa ada celah bagi anak untuk menyesuaikan kebutuhan mereka. 


Kesepakatan belajar ini selain untuk menelaah apa-apa saja yang dibutuhkan anak didik, juga untuk mengolah rasa tanggung jawab dari mereka yang bersepakat. Saling mengingatkan, saling mentaati dan dialektika terjadi. Kesepakatan belajar ini bentuknya tak harus muluk-muluk, hal-hal kecil seperti menyiram tanaman, jadwal memberi makan ikan juga merupakan latihan awal, ya sambil jalan aja.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Selain kelas-kelas gratis, Sakola Motekar juga mengajak anak-anak untuk bermain permainan tradisi, permainan yang nyaris tanpa gawai dan internet, bukan berarti anak-anak dijauhkan dari teknologi. 

Tapi Lembur kaulinan atau permainan tradisional dijadikan alat untuk mengoptimalkan fungsi motorik anak. Supaya fisiknya sehat, pertumbuhannya juga optimal. 

Lagi-lagi ini hutang rasa kepada Ki Hajar Dewantara yang menyebutnya sebagai Periode Wiraga. Lewat permainan tradisional ini tumbuh kembang mereka bahkan bisa gratis, cukup modal dengkul, dan bersenang-senang. 

Dahulu di awal-awal penggiat Motekar memang intens menemani setiap hari Minggu, setahun terakhir ini Lembur Kaulinan bahkan sudah mandiri dilaksanakan oleh anak-anak sendiri, dengan membuat kesepatakan sendiri. Juga hidup pula budaya nyampeur, mendatangi rumah rumah kawan-kawan sebelum datang bersama ke Sakola Motekar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun