Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Deschooling, Sakola Motekar

3 Agustus 2020   22:57 Diperbarui: 4 Agustus 2020   08:59 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2020, tahun ini di seluruh belahan dunia mengalami krisis besar yang diakibatkan oleh sebuah virus. Segala sektor terkena imbas dari wabah ini, termasuk dunia pendidikan. Ketika semua geliat sosial harus terhenti karena pandemi, tantangan besar dialami sekolah. 

Pembatasan demi pembatasan terhadap pertemuan terjadi, sekolah diliburkan, hingga tahun ajaran baru menjadi kalang kabut karena harus daring, geliat ketidaksiapan juga terjadi di perguruan tinggi, pengajar, dan guru-guru yang sudah ketinggalan jaman karena teknologi melaju pesat. Berbagai masalah kemudian terjadi.

Masalah-masalah klasik seperti ketidaksiapan sarana dan prasana pendidikan di pelosok-pelosok, mulai gawai, internet sampai peningkatan sumberdaya manusia terjadi ketika wabah ini terjadi. 

Tidak semua sekolah siap, dan bagi wali murid banyak sekali yang mengeluhkan dengan adanya metode baru pembelajaran daring, ini. 

Selain semua kurikulum diajarkan tanpa tatap menjadi lebih rumit, ketimpangan ekonomi, juga stagnasi pendapatan di berbagai kalangan tidak mungkin mengimbangi perubahan pendidikan di masa pandemi ini, yang kita tahu justru menjadi semakin mahal.

Aksi-aksi protes di gelar mahasiswa di berbagai kampus untuk menurunkan UKT, mahalnya biaya perkuliahan daring menjadi tanda tanya besar, kenapa kampus masih terus mengeruk uang mahasiswa untuk dibayarkan.

Sementara mereka tidak menikmati hak-hak mereka karena pembelajaran berlangsung di rumah, belum lagi soal membayar bea kos, dan tentu kuota internet untuk mengikuti berbagai tele-conference. Sudah UKT tidak turun, biaya kuliah membengkak jadi mahal karena listrik dan kuota internet.

Ironisnya, kejutan perubahan pendidikan ini justru menjadi bias, karena pertentangan-pertentangan akan masalah yang terjadi tidak menimbulkan jawaban, justru kita malah sibuk membahas online-offline? hanya berputar-putar disitu saja, kadang malah menambah kerumitan baru. 

Lalu bagaimana dengan masalah-masalah yang jadi inti permasalahan pendidikan, seperti Sekolah kini cuma jadi komoditas? 

Sekolah formal semakin lama seperti Industri jalan tol, siapapun yang punya biaya/kapital akan punya jalan mulus untuk mendapatkan gelar, dengan segala privilege yang didapatkan, bagi mereka yang miskin, jangan berharap apa-apa, karena kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak dicapai selama ini.

Dan nyaris mengabaikan amat UUD 1945 sebagai landasan pacu arah bernegara. bahkan Sekolah kini menjauhkan anak-anak dari sekelilingnya, mereka ibarat bayi tabung yang tidak pernah menjejaki tanah dan air dimana mereka tinggal. Mereka menjadi asing ketika pulang ke rumah, sulit bergaul dengan sosial, dan lebih bermental elit. 

Di mana ada lagi sekolah yang men-srawung-kan antara realitas dengan bangku-bangku pembelajaran? ketika output dari pendidikan sudah bukan lagi angka-angka dan selembar ijazah, tetapi riset pengembangan serta manfaat yang mampu dirasakan oleh banyak orang. 

Di mana lagi sekolah kalau perlu tak usah perlu biaya, gratis, dan semua orang boleh mengambil bagian didalamnya, dan menarik lebih banyak orang lagi untuk mencecap kenikmatan ilmu, serta indahnya berbagi? Salah satu yang pernah saya temui adalah Sakola Motekar.

Taman untuk Siswa

Di sebuah tempat berhawa dingin di Kabupaten Ciamis, di kecamatan Sadananya sebuah saung milik Mang Deni Weje, saya menemukan ruang itu. Dimana anak-anak, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul jadi satu untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki dalam ruang kebersamaan yang menarik, harmonis dan tidak menjauhkan pendidikan dari realitas tentunya. 

"Bapak pendidikan kita tu bukan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita itu Daendels!"

Kalimat itu yang terucap dari Mang Deni, atas kritiknya terhadap pendidikan modern. Tentu ini masuk akal, setelah saya telisik lagi pendapat mang Deni ini senada dengan Kyai Toto Raharjo, inisiator dari Sekolah SALAM Yogyakarta.  

Dalam bukunya Sekolah Biasa Saja Kyai Toto Raharjo sempat menuliskan bahwa kapan pertama kali kita dijauhkan dari realitas sekeliling, ya ketika ada pembentukan Sekolah Desa oleh Van Heutz dengan inisiasi dari Gubernur Hindia Belanda, Daendels. 

1907, Van Heutz melalukan perubahan signifikan di dunia pendidikan dengan programnya "pemberantasan buta huruf", tentu ini juga terjadi dalam kerangkanya menstabilkan geopolitik wilayah jajahan. 

Semangat ini tidak pernah dikritisi kemudian hari, apakah kita benar-benar buta huruf? wong di seluruh nusantara sudah punya aksara jauh sebelum pihak kolonial datang, atau huruf yang mana? 

Tentu bisa kita jawab adalah buta aksara Latin, sebagai proyeksi masa depan kolonial yang ingin menyeragamkan aksara untuk memangkas mis-informasi dan pengoptimalan penguasaan lahan. 

Akhirnya sekolah-sekolah dibuat untuk kepentingan kolonial, untuk menciptakan buruh-buruh yang bekerja di pabrik mereka, dan memenuhi segala upaya ekstraksi Kolonial. 

Naifnya, program ini dilanjutkan Pemerintah Jepang dan Indonesia kemudian hari, beserta sifat militeristik yang terkandung di dalamnya. Pendidikan kemudian semakin seragam, teratur, dan memangkas banyak ragam alternatif pemikiran yang muncul di benak anak-anak. 

Penyeragaman inilah yang kita kenal dengan kurikulum, yang bersifat terpusat, standar-standar dibentuk dari pusat untuk diterapkan ke daerah-daerah, lalu pendidikan menjadi kabur, dan mengaburkan potensi yang terpendam dari anak-anak tersebut.

Konsep-konsep pendidikan ala Taman Siswa juga tidak pernah dipakai, Taman untuk siswa itu kini jadi ruang-ruang kaku, penuh ancaman, juga aturan yang mengekang, yang memberi kacamata kuda kepada peserta didik untuk kemudian hari harus melacur pada industri. 

Tidak ada Ki Hajar di pendidikan Indonesia, tidak ada lagi ruang bermain yang menyenangkan, pembelajaran yang fun, semua pendidik nyaris terpaku pada angka dan angka. Hal-hal ini yang saya obrolkan dengan Mang Deni terkait Sakola Motekar yang ada di rumahnya. 

Lalu Mang Deni sempat pula bercerita bahwa Sakola Motekar ini hanya salah satu dari jaringan lainnya, yang mereka namai Sekolah Warga. 

Sekolah Warga merupakan salah satu bentuk hutang-rasa dari GERBANG (Gerakan Anak Bangsa) terhadap jasa-jasa semua guru yang sudah ikut andil dalam mengiklaskan semua ilmunya kepada semua orang. 

Berangkat dari Yogyakarta, Harianto dan Teguh Santoso merupakan inisiator gerakan ini, gerakan yang akhirnya menjadi besar setelah terus menemukan persambungan-persambungan sosial dengan banyak orang. 

Salah satunya tentu Mang Deni ini, yang kemudian mendapat banyak sekali inspirasi untuk mendirikan Sekolah Warga di rumahnya, untuk menjadi ruang yang Modal Tekad Kadaek Rampak. Lalu seperti gayung bersambut, Sakola Motekar kemudian menyambungkan pula banyak orang. 

Inovasi Pendidikan

"Belajar sambil Jalan"

Memang tidak ada resep khusus ketika Mang Deni saya tanyai, kok bisa Sakola Motekar bisa menjadi sedemikian besarnya ya sambil jalan saja, pokoknya jalan nanti juga menemukan hal-hal baru, dan bentuk-bentuk baru, itu saja. 

Mang Deni bercerita ketika awal kelas dimulai dari Ibu-ibu PKK memberi banyak penyuluhan terkait Keluarga, kemudian muncullah problema lainya untuk anak - anak digelarlah berbagai kelas untuk anak dari Baca Tulis Hitung sampai Bahasa Inggris.

Berlanjut dari situ kemudian ke pencak silat, bikin kolam, seni musik, sampai mobile-legend. Betapa semuanya berawal dari ruang penerimaan dan kesempatan untuk saling mengisi, ketika Ruang sudah ada jalan saja. 

Jalan Sakola Motekar kemudian menemui banyak persambungan lainnya, dari komunitas pengamen, genk motor, dll. Ruang pendidikan yang lebih egaliter ini bisa menampung banyak aspirasi lagi. 

Kelas-kelas kemudian dibuka lagi lebih luas, dari Pencak Silat, main Gitar, Videografi, Fotografi, dan beragam hal lainnya yang semua orang kini tidak hanya menjadi murid, tetapi juga banyak orang yang bersedia menjadi guru melihat antusiasisme atas kemanfaatan Sakola Motekar.

Dari yang sambil jalan, kemudian menemukan banyak jalan. Saya teringat di kampung saya di Jawa, memang ada idiom semacam ini ngelmu iku kalakone kanthi laku, berilmu itu hanya bisa terjadi ketika manusia sudah melaksanakan laku, melangkah, dan dari perjalanan itulah akan didapati ilmu baru, khazanah serta manfaat baru. 

Problem, Potensi dan Solusi

Salah satu hal yang menarik untuk diamati di Sakola Motekar adalah kemampuannya menjawab realitas persoalan di sekeliling. Mengamati problem sekitar, kemudian mengulik apa saja potensi yang dimungkinkan bisa jadi jawaban, kemudian membuat solusi atas permasalahan. 

Yang membedakan Motekar dengan pendidikan pada umumnya tentu karena Motekar berakar kepada keseharian, solusinya kemudian juga mengambil dari sekeliling, dari lingkaran, ulang-alik ini menarik. 

Karena pada umumnya setiap persoalan pendidikan dijawab dengan konsep-konsep dari luar lingkaran itu sendiri,  bisa jadi malah kurang produktif karena sama sekali tidak menyasar persoalan inti.

Hal ini senada dengan Ivan Illich dalam bukunya "deschooling society" yang mengungkapkan terlalu percaya dan menggantungkan pada sistem pendidikan formal yang dibuat pemerintah, mematikan kepercayaan diri mereka bahwa mereka mampu menjawab persoalan secara mandiri. 

Jika kita berkaca di frame yang lain, di beberapa desa di jawa tidak ada kursus menjadi petani, tidak ada kursus menjadi tukang kayu apalagi kursus bengkel, warga cukup ikut saja terjun ke sawah, ke bengkel memperhatikan dan belajar disitu, tanpa perlu sekolah. D

an disinilah sebenarnya peran 'warga' merekalah sebenarnya guru-guru sekolah warga, mereka yang setiap hari bergelut dengan keahlian mereka, memberi ruang belajar supaya warga lain yang tertarik dapat ikut belajar keahlian, tidak melulu harus lewat Sekolah formal yang berbayar dan terkadang menyeragamkan siswanya. 

Ekosistem Belajar

Berpedoman kepada realitas sekeliling inilah di kemudian hariS akola Motekar merebut ruang belajar anak-anak Sadananya. Belajar tidak lagi kaku di sekolah tetapi bisa di saung, di teras, bisa di bawah pohom bambu seenaknya. 

Belajar tidak harus berseragam, apel, tapi benar-benar fokus kepada hal-hal yang disukai, yang dibutuhkan, sampai nanti hal-hal yang bisa digunakan untuk mendorong daya hidup si anak. 

Belajar di Sakola Motekar tidak lagi soal angka dan ranking, tapi tumbuh bersama, menikmati kebersamaan, saling tukar pendapat secara terbuka, saling mengisi. Ini yang menurut saya Sakola Motekar ini membentuk inovasi baru, membentuk sebuah Ekosistem Belajar yang lebih mengakomodasi kebutuhan anak -anak.

Tak hanya soal berbagi ilmu, di Sakola Motekar anak-anak kemudian diajak membuat kesepakatan belajar. Ini menurut saya juga menarik, selama ini kurikulum selalu seperti paket yang harus diterima anak didik, tanpa ada celah bagi anak untuk menyesuaikan kebutuhan mereka. 

Kesepakatan belajar ini selain untuk menelaah apa-apa saja yang dibutuhkan anak didik, juga untuk mengolah rasa tanggung jawab dari mereka yang bersepakat. Saling mengingatkan, saling mentaati dan dialektika terjadi. Kesepakatan belajar ini bentuknya tak harus muluk-muluk, hal-hal kecil seperti menyiram tanaman, jadwal memberi makan ikan juga merupakan latihan awal, ya sambil jalan aja.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Selain kelas-kelas gratis, Sakola Motekar juga mengajak anak-anak untuk bermain permainan tradisi, permainan yang nyaris tanpa gawai dan internet, bukan berarti anak-anak dijauhkan dari teknologi. 

Tapi Lembur kaulinan atau permainan tradisional dijadikan alat untuk mengoptimalkan fungsi motorik anak. Supaya fisiknya sehat, pertumbuhannya juga optimal. 

Lagi-lagi ini hutang rasa kepada Ki Hajar Dewantara yang menyebutnya sebagai Periode Wiraga. Lewat permainan tradisional ini tumbuh kembang mereka bahkan bisa gratis, cukup modal dengkul, dan bersenang-senang. 

Dahulu di awal-awal penggiat Motekar memang intens menemani setiap hari Minggu, setahun terakhir ini Lembur Kaulinan bahkan sudah mandiri dilaksanakan oleh anak-anak sendiri, dengan membuat kesepatakan sendiri. Juga hidup pula budaya nyampeur, mendatangi rumah rumah kawan-kawan sebelum datang bersama ke Sakola Motekar.

Ibu-ibunya juga tak mau kalah, mereka juga membuat jadwal senam mereka sendiri secara mandiri. Mengerti kebutuhan akan kesehatan, dan Saung Cibunar ini jadi ruang menarik untuk senam, selain udaranya sejuk, ketika ibu-ibu senam, anak-anaknya turut serta main kaulinan.

Nujuhlikuran dan Bulan di Cibunar

Yang terakhir, ada setidaknya dua kali kumpul bareng bersama-sama di Sakola Motekar. Yang pertama Bulan di Cibunar. Perhelatan ini digelar setiap malam purnama, semua warga Motekar mengekspresikan segala bentuk kesenian dan kelas-kelas.

Jikalau dalam sebuah forum puncak-puncaknya adalah panggung dan mic, di Sakola Motekar puncaknya ya aktualisasi Potensi. Setelah banyak belajar di kelas-kelas, Bulan di Cibunar ini menjad wadah ekspresi semua kelas. 

Yang kelas musik, tari, puisi, pencak, silat nyanyi bisa tampil di depan, ada juga layar tancep. Yang videografi dan fotografi mendokumentasikan acara, yang kelas nulis bisa membuat tulisan yang nanti direkam di BAREN majalah Sakola Motekar. 

Kemudian ibu-ibu di menyiapkan dapur, memastikan selain asupan ilmu dan kegiatan yang menyehatkan fisik semua makanan yang masuk ke perut mereka bergizi dan mengurangi bahan makanan yang kurang sehat.

Semua boleh mengekspresikan dirinya di Bulan di Cibunar, atau cuman duduk-duduk menonton layar tancep juga tak apa. Sakola Motekar tetap berpinsip bahwa Sekolah harus menggembirakan, bahkan seperti taman yang semua orang betah dan bergembira didalamnya.

Dokumentasi Sakola Motekar.
Dokumentasi Sakola Motekar.
Yang kedua adalah Nujuhlikuran, berkumpul setiap malam tanggal 27. Pertemuan ini sebagai sarana refleksi semua warga Motekar. 

Untuk bersyukur, mengendapkan diri, untuk mengevaluasi semua yang sudah dijalani Sakola Motekar selama sebulan penuh. Ini juga bagian dari UtangRasa kepada semua pihak yang turut serta menemani, memberi arti, menginspirasi keberadaaan Sakola Motekar. 

Ekspresi dan Refleksi, ini nampaknya yang hari-hari ini juga sulit ditemukan di sekolah formal.

Mainstream pendidikan kita saat ini hanya mendorong anak untuk berkompetisi tanpa memperdulikan faktor lain. Akhirnya Sekolah  hanya seperti perlombaan naik kelas dan mendapatkan angka terbaik, namun hal-hal seperti akhlak, empati, simpati, gotong-royong, disiplin dan kemandirian kadang diabaikan. 

Pola ini kemudian dibawa sampai ke pekerjaan, ke masyarakat, ke keluarga bahwa puncak dari segalanya adalah Mendominasi dengan segala cara. 

Akhirnya tak ayal jika hari-hari ini kita hanya saling berebut satu sama lain dan mematikan ruang refleksi yang sebenarnya justru kita bisa lebih baik lagi jika melakukan semuanya bersama-sama. 

Demikian, Sakola Motekar akhirnya tak hanya menjadi Balai Latihan Kerja, tapi menyentuh ke hampir seluruh lini masyarakat. Dari yang belajar sambil jalan kemudian tidak sekedar jalan. Dari Sekolah biasa saja kemudian menjadi Sekolah Luar biasa. 

Sebagai penutup dengan metode yang dilakukan oleh Sakola Motekar, cara belajar di Cibunar tak mengalami masalah apapun bahkan ketika Pandemi. 

Ketika Pembatasan terjadi, semua orang diharuskan work from home, Sakola Motekar menjadi ruang temu bagi banyak orang di Cibunar, tetap sesuai protokol kesehatan dan pendidikan berlangsung di Saung seperti biasa.

Nah, ketika saat ini sekolah formal libur, Sakola Motekar justru semakin ramai dan menjangkau banyak pihak. Meretas beragam keterbatasan, menjawab kebutuhan dan menyediakan solusi mandiri dalam bingkai gotong-royong.

Surakarta, 2 Agustus 2020
INDRA AGUSTA

Source :
Sekolah Biasa Saja, Toto Raharjo, INSISTPress, 2018
Deschooling society, Ivan Illich, Harper and Row, 1972

Kontak :

Facebook : Sakola Motekar
Instagram : @sakola_motekar01

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun