Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Butterfly-effect Pandemi, Silang-sengkarut Logika

21 Mei 2020   04:14 Diperbarui: 21 Mei 2020   09:39 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Butterfly-effect Pandemi, Silang-sengkarut Logika| Dokumentasi pribadi

Sekarang konfliknya memuncak, masyarakat secara budaya sudah tidak mungkin lagi mengerem laju kebudayaan berbasis agama seperti puasa dan Idul Fitri. Kita bisa lihat budaya 'ngabuburit', silaturahmi, sungkem, kirim parcel, sampai benar-benar halal-bihalal sekampung meskipun sudah dilarang tapi siapa yang menjamin tidak akan bocor. 

Kebudayaan sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, beberapa pihak menganggap ini sebagai tradisi yang pantang dihentikan. Sementara itu ketika bandara dibebaskan, McD berjubel manusia mengekspresikan 'identitas dan kenikmatan'-nya, kini masjid-masjid masih dilarang untuk beribadah. Sementara pasar, angkringan dan trotoar ramai. Polaritas terjadi.

Masyarakat yang terbiasa untuk diadu sama lain, terbiasa diberi ransum cacat logika biner A atau B, setidaknya selama pilpres 2014 gejala ini menggeliat sampai ke desa-desa. Mereka yang sedang susah, sedang menahan banyak hal harus menyaksikan betapa ketidakadilan terjadi dimana-mana, tentu responnya akan sepihak. 

Ada kubu yang membela A ada kubu yang membela B. Misal pertentangan McD dan masjid, satunya berbasis agama satunya berbasis kenyamanan dan identitas. Konflik ini beragam bentuknya memenuhi arena negara sekarang.

Polaritas ini diperparah dengan lakunya teori konspirasi, teori cocokologi yang tentu lebih laku didalam masyarakat yang sudah terbiasa tidak disuguhi keadilan berpikir. 

Jaring konspirasi ini betul sebagai pemikiran alternatif, tetapi di masa pandemi ini nampak justru menambah keributan terutama di masyarakat yang informasinya hanya didapat dari TV dan paketan media sosial mereka. 

Teori cocoklogi punya pendukungnya, arus ini juga merupakan reaksi balik dari kejemuan mereka menunggu kejelasan sikap pemerintah. Laris di media sosial hingga menjadi bahasan di kampung-kampung, sampai ke grup whatsapp keluarga. 

Silang sengkarut informasi ini menjadi bola liar yang bisa ditarik kemana-mana. Arus ini juga hadir di awal-awal pandemi banyak kaum spiritualis meramalkan akhir wabah, obat yang digunakan untuk menyembuhkan, sampai dikaitkan ke jangka-jangka tertentu sebagai pembuktian ramalan. 

Arus ramalan ini juga laris manis bak kacang. Memang tidak serta merta orang timur percaya ramalan, namun pewarisan kebudayaan cocokologi ini juga terjadi di setiap sesi komunikasi. 

Mereka yang tidak punya data lebih untuk menjawab pertanyaan lebih memungkasi jawaban dengan teori konspirasi demi merawat fans, jamaah, kawanan supaya tetap loyal mengikuti mereka.

Keadaan ini tidak hanya berlaku pada wabah Covid-19 ini di wabah-wabah sebelumnya kaum spiritualis-magis dan konspirator ini juga punya peran untuk mengacak-acak persepsi masyarakat terhadap bukti-bukti sains yang belum terjawab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun