Mohon tunggu...
Indra Ayodia
Indra Ayodia Mohon Tunggu... -

mempelajari sesuatu...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Perlahan Tergusurnya "Bahasa Indonesia"

19 April 2011   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:39 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13031966981768211602

[caption id="attachment_103391" align="alignleft" width="186" caption="perlahan bahasa kita hilang"][/caption] Saya kurang mengerti mengapa Bahasa Indonesia masih diajarkan di pendidikan formal. Saya belum pernah menemukan ada orang/institusi selain lembaga perbahasaan yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bahkan, bahasa ini tampaknya sebuah bahasa kelas tiga yang membuat orang terlihat bodoh. Tampaknya bahasa ini hanya sekedar perusak nilai rapor saja. Pebisnis, pejabat, selebritas, dan sebagainya lebih menyukai istilah dalam bahasa Inggris dari pada Bahasa Indonesia. Walau pun kadang terdengar memaksa dan dipaksakan, menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris terkesan lebih terlihat intelektual dibandingkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Apalagi ketika bercakap-cakap dengan kolega dengan menggunakan campuran bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia terkesan lebih masuk. Banyak orang berpendapat bahwa Bahasa Indonesia terlalu dangkal untuk menggambarkan sebuah perasaan. Coba perhatikan tembang lawas milik GodBless yang apabila saat ini diperdengarkan terasa menggelikan. Bahasa ini terlalu kaku untuk diberlakukan sebagai bahasa percakapan. Bahasa ini lebih cenderung sebagai bahasa resmi saja. Bilamana seseorang hendak membuat les Bahasa Indonesia, bisa jadi dia kesulitan untuk menemukan orang-orang pembicara alami. Bandingkan dengan bahasa Inggris, mudah sekali menemukan native speaker yang mengerti struktur bahasa Inggris. Lagipula, Bahasa Inggris lebih menjual dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.Sebagai perbandingan, untuk dapat sekolah di luar negeri ada standar TOEFL yang harus dipenuhi. Kontras dengan itu, masih banyak lulusan sarjana yang belum bisa membedakan kata “di” sebagai kata penghubung dan “di” sebagai prefiks. Media pun terbaca lebih menarik dan luwes jika menggunakan slang dari pada Bahasa Indonesia murni. Ada banyak literatur mengenai bahasa Inggris, dari buku-buku yang dijual di Gramedia hingga buku yang dijual oleh pedagang di atas kereta. Ada banyak institusi yang secara khusus mempelajari dan mendokumentasikannya, contohnya Merriam-Webster dan Oxford. Bandingkan dengan Bahasa Indonesia yang hanya ada KBBI dan itu pun tidak selalu tertatar. Kamus yang keluar pun dapat dihitung dengan jari dan hanya satu tokoh saja yang terkenal, Gorys Keraf. Jika sarjana saja bisa tidak mengerti Bahasa Indonesia yang diajarkan kepada anak SD dan sulitnya menemukan referensi Bahasa Indonesia, maka bukankah Bahasa Indonesia tidak lebih sebuah formalitas bahasa seperti bahasa Klingon, nice to have? Lalu buat apa Bahasa Indonesia diajarkan? Coba saja lihat, banyak siswa yang lebih tinggi nilai bahasa Inggrisnya dibandingkan Bahasa Indonesia. Bahkan, Bahasa Indonesia juga sering kali menjadi momok di ujian nasional. Apakah sebutan Bahasa Indonesia untuk sebuah bahasa tak begitu terpakai tak lebih sebagai sebuah formalitas untuk menjaga relevansi Sumpah Pemuda? Masih relevankah Sumpah Pemuda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun